Minggu, 13 September 2015

Chap.1 Immortal Story: The Aphrodite's daughter






Chapter 2 
 

*****
Los Angeles, California
***** 

Kate Selena Smith, seorang gadis cantik dengan bentuk wajah kecil bulat, kening tipis berwarna coklat kehitaman, mata hazel yang didapatkan dari ayahnya dipercantik dengan bulu mata yang lentik menghiasi kelopak mata bulat nan indah, bentuk bibir yang tipis kecil dilengkapi dengan lesung pipi yang selalu terlihat jelas pada kedua pipi saat dia menampilkan senyum diwajahnya. Tubuh yang tinggi langsing dengan warna kulit kuning langsat. Kecantikkan yang dimilikinya dilengkapi dengan rambut lurus bergelombang berwarna mahogani sebagai mahkota yang sangat dia banggakan. Seorang gadis yang nyaris sempurna. Sayangnya kecantikkan yang dia miliki hanya kecantikkan fisik. Kate bukan gadis yang anggun, bukan gadis yang lembut. Banyak lelaki yang jatuh cinta padanya, tapi selalu dia tolak mentah-mentah. Tapi masih saja ada satu orang lelaki yang selalu berada disampingnya. Iya, selalu. 

Kate adalah anak Hendry Smith, yang bekerja sebagai pengacara. Kate dan Hendry hanya tinggal berdua dirumah mereka. 

*** 

Smith's House 

Hari itu cerah. Langit biru yang bersinar cerah dengan awan putih tanpa setitik noda yang menodainya. Lukisan karya Sang Maha Pencipta yang sangat indah. 

"Kate," panggil Hendry dari dapur dilantai satu rumah mereka. Hendry tengah sibuk memanggang roti dan ketika sudah terpanggang, dia meletakkan dipiring putih bulat bersama dengan telur dan beberapa irisan daging sapi panggang. 

"Kate.. Ini sudah pagi. Bangunlah atau kau akan terlambat kuliah!" teriak Hendry dari ujung tangga yang mengarah kelantai dua. 

Suara berisik Hendry membuat Kate menelungkupkan badannya dengan bantal yang menutupi kedua telinganya. Sia-sia!

"Oh dad!" Kate berteriak kesal dari dalam kamarnya. Mendengar teriakan kesal putri sematawayangnya itu, Hendry hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. 

Berselang beberapa menit, Kate telah tiba didapur sambil menguap dia berjalan mendapati meja makan dan duduk menempati salah satu kursi. Kate hanya menggunakan baju kemeja putih berlengan panjang dan tampak besar dari tubuhnya -- bukan kemeja lelaki, dengan celana pendek yang memperlihatkan kaki jenjang miliknya yang panjang celana hampir sama panjang dengan kemeja besar yang dia kenakan. Tanpa mencuci wajah dari tidur semalam. 

Melihat putrinya itu, Hendry hanya kembali menggeleng dan meletakkan dua buah piring berisi sarapan pagi diatas meja, satu untuk Kate dan satu untuknya. 

"Kate, kalau kau seperti ini mana ada pria yang mau denganmu?" tanya Hendry dengan nada menggoda putrinya. 

"Ada dad.. banyak," jawab Kate sambil menikmati sarapan yang dibuat oleh ayahnya. 

"Ya banyak, tapi kau tolak mereka semua bukan?" tanya Hendry sambil terkekeh kecil, "Tidak akan ada pria yang mau mengejarmu lagi." 

"Ada!" Kate yang menghentikan aktivitas makan kemudian berseru lalu kembali mencoba mengingat berapa banyak pria yang masih mengejarnya, "Tiga.. Ah tidak, dua. Ah.. mungkin --" 

"-- hanya satu," Hendry melanjutkan kalimat putrinya, "Dan pria itu hanya Sam Walcott." 

Kate mendesah kesal mendengar ayahnya tahu. Tentu saja Hendry tahu. Hendry adalah ayahnya, bukan? Menepis kebenaran bahwa Hendry adalah ayahnya, siapapun yang melihat Sam Walcott pasti akan tahu kalau hanya satu wanita yang selama ini sering diikuti kemanapun oleh Sam Walcott. Wanita itu adalah Kate. Mereka berdua telah bersahabat sejak masih kanak-kanak. 

"Dad please.. Jangan menyebut namanya dihadapanku," pinta Kate dengan nada memaksa. Membuat Hendry terkekeh dan melanjutkan aktivitas dimulutnya. 

"Aku akan buktikan padamu kalau aku bisa terpisah jauh dari si Walcott berkacamata itu!" ketus Kate, membuat Hendry mengedikkan bahu dan berakhir dengan Kate memutar kedua bola matanya seolah tak percaya ayahnya terlihat sangat menyukai Sam, pria yang selalu disampingnya tapi pria yang selalu membuatnya jenuh bahkan sesekali merasa hampir muak jika mendengarnya bercerita tentang makhluk immortal dari buku-buku yang dibacanya. 

*** 

"Jadi ini Los Angeles? Hm.. Biasa saja, tidak ada bedanya dengan belahan dunia lain yang telah kukunjungi," ucap seorang pria berbaju putih dibalut jas biru dari luar dengan celana berwarna senada. 

Pria bertubuh tinggi dan besar dengan dada bidang, kulitnya yang putih pucat dengan rambut hitam miliknya, dan mata coklat kehitaman miliknya membuat beberapa pasang mata wanita menoleh kearahnya yang berdiri didepan taman kota. Tampan, ya.. Sungguh tampan. Pria itu adalah Taylor Korsakov -- pangeran Vampire yang meninggalkan istana Vamplides selama 17 tahun demi mencari seorang anak yang bahkan belum dia ketahui keberadaannya. 

Taylor berjalan menelusuri jalan setapak taman dimana dia berharap bisa menemukan anak itu. Selain itu dia berharap semoga tidak menemukan banyak makhluk immortal lain disini dan semoga belum ada yang menemukan anak itu sebelum dirinya. 

Hari sudah semakin panas. Matahari semakin meninggi. Kulitnya yang putih pucat tampak memerah.
Oh tidak, dia tidak terbakar. 

Dia adalah Vampire dari kelas Alphire -- kelas para bangsawan Vampire. Selain memiliki kekuatan khusus kekuatan bangsawan Vampire, setiap Vampire bangsawan memiliki cincin yang terbuat dari panasnya matahari dan dinginnya bulan sehingga memungkinkan mereka untuk berjalan dibawah sinar matahari. Hanya saja matahari yang membuat kulit putih pucat miliknya memerah adalah hal yang alamiah bagi seorang Vampire, terutama manusia yang mempunyai kulit putih. 

Taylor berdecak kesal ketika tiba-tiba ada yang menepuk bahunya dari belakang. 

"Ada apa?" tanya Taylor dengan kening terangkat keatas dengan badan yang sudah saling berhadapan.

Seorang gadis cantik tengah berdiri dibelakangnya. Ekspresi wajah gadis itu tak kalah kesal dari ekspresi Taylor.

"Ada apa?" gadis itu balas bertanya, "Permisi Tuan menyebalkan! Kau menghalangi jalanku!" ketus gadis itu. 

"Menghalangi jalan? Kau tak bisa melihat jalan ini begitu luas?" tanya Taylor dengan dahi berkerut, "Bahkan dengan tubuh kecilmu, kau bisa melewati sisi lain dari jalan ini!" kata Taylor datar setelah menyelidik dari rambut sampai kaki gadis dihadapannya. 

Gadis cantik itu berkacak pinggang, "Hey kau Tuan menyebalkan, bisakah kau lihat jalan disebelahmu itu sedang diperbaiki? dan kau berdiri ditengah jalan yang harusnya bisa kulewati!" 

Taylor menolehkan kepalanya melihat jalan disebelah dengan tanda larangan tidak boleh dilewati. Dalam hati Taylor bersungut kesal. Bagaimana bisa dia tidak melihat jalan itu sebelumnya. Pikirannya terlalu fokus mencari anak itu, -- anak yang bahkan dia belum tahu seperti apa wajahnya hanya sebuah tanda yang akan membuktikan siapa anak itu.

Tanda? Ah, ya! Tanda.. Kenapa aku bisa melupakannya, pikir Taylor. 

"Hey!" teriak gadis itu. 

"Lewatlah," ucap Taylor sambil membuka akses jalan bagi gadis itu lewat, namun Taylor tak menatap gadis itu tapi malah memegang dagunya dengan sebelah tangannya dan tangan yang lain menahan siku tangan yang sedang memegang dagu. 

Melihat itu gadis itu memutar bola matanya. Meski masih kesal dengan tingkah Taylor, gadis itu akhirnya pergi juga. 

*** 

Universitty of California

Kate berjalan melewat koridor gedung kampus. Beberapa pasang mata pria melihatnya, beberapa pria menyapanya, beberapa memberikan bunga bahkan kotak hadiah padanya tapi dia malah tidak peduli. Pertama masalah bunga, Kate akan mengambilnya dan menciumnya sesaat membuat pria yang memberi tersenyum bahagia, namun kemudian Kate akan membuangnya kedalam tong sampah. Kedua masalah sapaan, Kate hanya akan menatap sekilas sebelum berjalan melewati. Ketiga masalah kotak hadiah, Kate akan mengambilnya kemudian dia akan memberikan kepada siapapun saat melewati mereka. Such as a bad girl! 

"Hey nona," sapa sesosok pria tampan dengan baju basket berwarna merah dengan nomor punggung 12. Pria yang tak lain adalah James Parker. 

James Parker adalah pria kaya dan tampan yang terkenal playboy. Salah satu pria yang memiliki banyak wanita cantik dan sexy disampingnya. Salah satu pria yang selalu menggoda Kate untuk berpacaran dengannya. Salah satu pria yang paling dibenci Kate. Bahkan sebenci-bencinya Kate pada Sam, masih lebih besar rasa bencinya pada James yang menurut Kate, dia terlalu over menunjukkan ketampanannya yang bahkan tak ada apa-apanya dibanding Hendry, ayahnya sendiri. Ya, dalam hati Kate selalu mengagumi ayahnya -- pria separuh baya, yang bahkan meski diumurnya yang sudah 44 tahun masih terlihat tampan. 

"James Parker menyingkirlah dari jalanku," kata Kate dengan nada tegas. 

Tapi diabaikan oleh James. Justru James merangkuh tubuh Kate lebih dekat dengannya dan tampak bersemangat melihat betapa seksinya tubuh Kate dibalik baju berkain levis biru berlengan setengah yang tampak kebesaran dari tubuh kecilnya dengan kancingan yang tidak semua ditutup sehingga menampilkan sedikit belahan dada milik gadis cantik itu. 

"Awesome!" ucap James takjub saat ia menatap lekat-lekat belahan dada dan leher jenjang milik Kate sekalipun sedikit terhalau uraian rambut bergelombang mahogani milik Kate. Mata James terperangah sesaat saat mendapati sesuatu dipunggung dekat leher jenjang Kate. James bersiul, tak berhenti mengagumi pesona gadis cantik dihadapannya ini. 

"James singkirkan tanganmu dariku!" bentak Kate, namun sekali lagi diabaikan oleh James. Pria itu malah seenaknya mengarahkan tangannya menggapai punggung Kate demi melihat sesuatu yang jelas tadi bersinar. 

"James Parker!" Suara teriakan dari kejauhan membuat James mengerang kesal sebelum menolehkan kepalanya pada pemilik suara, Sam Walcott. 

James melepaskan rengkuhan kedua tangannya dari tubuh Kate dan membalikkan badannya menatap Sam Walcott yang dengan langkah cepat berjalan mendekati James dan teman-temannya.

"Uh.. Ternyata anak mama ada disini," ledek James sambil saling memandang dengan teman-temannya dan tertawa. 

"Jangan ganggu Kate!" ucap Sam dengan lantang meskipun sedikit terdengar parau. 

James terkekeh dan mengukir senyum miring dibibir tipis miliknya, "Memangnya kenapa?" sambil merengkuh kerak baju Sam disambut tawa kecil teman-teman James. 

"Menyingkirlah da-da-ri Kate," ucap Sam terbata-bata saat James semakin merengkuh kuat kerak baju Sam. 

"Brengsek!" James tersenyum sinis dan langsung melayangkan sebuah tinju pada pipi Sam, mengakibatkan Sam jatuh kelantai. 

Berpapasan dengan itu, Mr O'connell lewat. "Mr Parker!" teriak Mr O'connell dari tangga dekat koridor tempat mereka berada. James langsung tertunduk dengan kesal melihat tatapan Mr O'connell seolah siap menerkamnya melihat kejadian itu. 

"Mr Parker ikut saya ke ruangan! Kamu juga Mr Walcott," perintah Mr O'connell dan langsung berjalan menuju ruangannya, disusul kesal oleh James. 

Kate membantu Sam berdiri. Jauh dihatinya, dia merasa bersalah pada Sam karena mendapat pukulan dari James. Sekalipun dia membenci Sam karena pria itu selalu mengusiknya dengan kisah-kisah immortal, tetap saja Sam Walcott adalah sahabatnya sejak kecil. 

Melihat tatapan Kate tampak khawatir, Sam malah tersenyum dan menahan tangan Kate dengan anggukkan kecil seolah mengatakan aku baik-baik saja -- meski ada darah disimpul bibir Sam akibat tinju James. 

==_oOo_==

 
*****
Gua Gorgon
***** 

Desisan ular hitam berbisa dari kepala Stheno, yang sedang berbaring ditempat tidur. 

"Kak!" seru Euriale yang tiba-tiba berlari secara cepat kedalam kamar gua Stheno. 

Ular hitam berbisa dikepala Stheno secara cepat bergerak kearah datangnya Euriale dengan garang sambil berdesis. 

Melihat desisan ular hitam dikepala Stheno, tak mau kalah ular merah berbisa dikepala Euriale juga mengarah pada ular hitam Stheno dengan garang. 

"Oh slow down baby, jangan bertengkar. Aku hanya ingin berbicara dengan kakakku," ucap Euriale membuat kedua ular berbisa itu menjadi tenang. 

"Ada apa?" tanya Stheno sambil membuka matanya sejenak. 

"Kak, kau tidak merasakan Gua Gorgon ini bergetar dengan kuat?" tanya Euriale. 

"Aku merasakannya. Lalu?" jawab Stheno datar sambil memberi makan kepingan tubuh manusia untuk dimakan ular hitam miliknya. 

"Kehadiran anak itu akhirnya terasa juga," kata Euriale. 

"Tidak ada yang perlu ditakutkan. Dia masih 17 tahun. Tanpa kita membunuhnya, makluk immortal lain sedang menunggu waktu yang tepat untuk menyerangnya," kata Stheno sambil tertawa. 

Euriale tersenyum puas mendengar kata-kata kakaknya. Mata terang Euriale menangkap dua sosok manusia yang sedang menatap mereka dengan ketakutan. Timbul ide nakal darinya. 

Hiks.. Hiks.. Hiks.. suara tangisan pelan Euriale membuat dua manusia yang masih hidup -- yang berada dalam kamar gua Stheno, menutup telinganya menahan sakit akibat tangisan Euriale. Dari telinga keduanya keluar darah yang mengalir. 

"Euriale, berhentilah menyiksa makan siangku!" seru Stheno yang kini sudah bangun dari tidurnya. 

Euriale tertawa kecil dan menatap kembali kakaknya sambil tersenyum nakal, "Baiklah selamat menikmati makan siangmu kakakku tersayang," kata Euriale sambil berlalu tapi langkahnya terhenti dipintu, "Kak.. Medusa tampak masih menangisi batu pria dan adik pria itu, yang kau bunuh sebelum buat jadi batu." 

"Masih beruntung aku membuatnya menjadi batu sebagai kenang-kenangan bagi dia, daripada aku memberikannya menjadi santapan anak-anakku," Stheno tersenyum miring. 

==_oOo_==
 
*****
Los Angeles, California
***** 

Universitty of California 

Kate duduk menunggu Sam di taman samping gedung kampus, dengan khawatir dan rasa bersalah. 

"Hey!" suara Sam dari belakang mengagetkan Kate. 

"Hey.. Kau baik-baik saja? Mr O'connell tidak memarahimu? Kau tidak terluka dibagian yang lain?" Sederetan pertanyaan yang Kate lontarkan. 

Mendengar itu Sam tertawa. "Apakah kau mengkhawatirkanku sekarang?" 

Kate baru tersadar jika ia sudah banyak bertanya. Tidak biasanya dia bertanya dengan khawatir seperti ini pada Sam. 

"Tidak!" jawabnya datar. Kembali kedirinya sendiri, seorang Kate. Namun pergerakkannya terlihat gugup bahkan saat dia mengikat rambut keatas, tangannya bergetar seolah baru pertama kali mereka bersama. 

Dari kejauhan, sesosok tubuh pria yang sedaritadi mengamati mereka dari saat kejadian di koridor sambil tersenyum. Pria itu adalah Taylor Korsakov, "I found you.

-----
August 20th, 20015



Chap.2 WITHOUT YOU -it was nothing-


WITHOUT YOU


- it was nothing -



Chapter 2




"Ini sudah kelima kalinya Cherlyn mencoba membunuh dirinya, Minho. Tante sudah tidak tahu harus berbuat apalagi," tutur Evellyn dengan tatapan yang tak sedikitpun berpaling dari wajah putri sematawayangnya, Cherlyn – yang terbaring di tempat tidur. Kejadian tadi hampir saja membuatnya kehilangan putrinya itu. Beruntung Minho tiba disana tepat pada waktunya sehingga berhasil mencegah Cherlyn menjatuhkan dirinya – seolah dia dapat terbang.

Terlalu depresikah Cherlyn saat kehilangan lelaki yang dicintainya? Iya, sangat. Bahkan dalam tidurnya, dia sering bergumam memanggil nama Reza Aditya dan menangis. Terlalu cintakah Cherlyn pada Reza? Iya terlalu cinta – karena terlalu cinta, maka membuatnya ingin mati bersamanya. 

Bodoh! Cinta yang bodoh. Cinta yang sering mengesampingkan hal-hal berbau logika. Tapi siapa bilang seseorang tidak akan terluka saat dia kehilangan orang yang dicintai? Terluka itu pasti. Bahkan rasanya hampa – ingin mati. Tubuh yang tak bisa lagi dipeluk, wajah yang tak bisa lagi disentuh, bibir yang tak bisa lagi dicium, dan tangan yang tak dapat lagi digenggam. Semua pasti pernah mengalaminya. Hal yang sama terjadi juga pada Cherlyn Agung Setiadi. Tak ada lagi si Cherlyn gadis periang. Kini tinggal Cherlyn yang sering mencoba membunuh dirinya sendiri, menghukum dirinya sendiri, menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Reza Aditya – lelaki yang dicintainya itu. 

"Sabar tante.. Sabar," ucap Minho sambil mengusap bahu Evellyn. Memberi wanita paruh baya itu sedikit kekuatan. 

"Minho tolong tante. Tolong rawat Cherlyn sampai dia sehat. Tolong kembalikan Cherlyn-ku yang dulu," pinta Evellyn sambil menatap sendu iris mata hitam milik Choi Minho. Mata wanita paruh baya itu tampak digenangi dengan kristal-kristal yang hampir siap meluap dari sungainya.

Minho menghela napas pelan kemudian tersenyum. "Iya tante. Apapun akan Minho lakukan demi kesembuhan Cherlyn." 

Drrrt... Drrrt... Drrrt... Bunyi getar handphone Minho. 

Minho menatap layar handphone digenggaman tangannya dengan tatapan gusar. Sial! Gadis menyebalkan ini lagi, batinnya. Minho memutuskan sambungan telepon. Namun bunyi getar handphone miliknya, terjadi berulang-ulang dan berasal dari orang yang sama. Minho berdecak kesal. Gadis yang sama – yang terobsesi padanya sejak 4 tahun terakhir ini dimulai saat mereka bertemu di sebuah acara yang diselenggarakan Seoul Universitty. 

Dengan langkah berat, Minho memutuskan untuk keluar dan menjawab telepon masuk – lebih tepatnya panggilan luar negeri. 

"Apa kau tak punya kerjaan lain selain menelponku?" tanya Minho dengan nada suara yang datar. Sungguh dia sudah hampir muak dengan gadis ini. 

Gadis diseberang telepon sana terkekeh kecil. "Kau tidak rindu padaku?" Ia kembali bertanya dengan suara khas miliknya – suara serak basah, yang terdengar sangat sensual untuk ukuran seorang gadis berparas cantik dan errr... seksi. Harus Minho akui itu. Tapi daripada membuang rasa malu, ego dan harga dirinya untuk mengakui kecantikkan dan keseksian sempurna yang dimiliki gadis diseberang telepon sana, Minho lebih memilih memotong lidah-lidahnya sendiri jika ia harus mengakuinya. 

"Tidak!" elak Minho dengan nada suara datar yang lebih terdengar tegas. Gadis yang terlalu percaya diri, batinnya kesal. 

"Tapi aku merindukanmu," ungkap gadis diseberang telepon genggam – sambil tersenyum senang, meski dia tahu Minho tidak melihat senyumannya saat ini. 

"Sudah kubilang aku tidak merindukanmu!" bentak Minho. Dia memutar bola matanya, kesal saat bentakkannya seakan angin lalu bagi gadis cantik yang tengah terkekeh, lagi. 

"Baiklah. Mungkin kau tidak merindukanku saat ini. Tapi kau akan merindukanku nanti. Dan akan kunantikan saat itu," ucap gadis diseberang telepon dengan penuh percaya diri. 

Minho memutar bola matanya, lagi. "Ya! Terserah kamu! Jika tak ada yang ingin kamu bicarakan denganku, aku tutup. Aku sibuk!" 

Tuuuth... Tuuuth... Tuuuth... Bunyi sambungan telepon terputus sepihak. 

Tampak wajah kekesalan tingkat para dewa Yunani saat manusia mengabaikannya perintahnya -- maksudnya saat gadis itu terus mengusik hidupnya. Secara jujur, Minho telah melarang keras gadis cantik itu untuk mengganggu hidupnya. Tapi sepertinya gadis cantik itu tidak mengindahkan kata-katanya. Membuat Choi Minho merasa terganggu setiap hari. 

"Siapa Minho?" tanya Evellyn saat mendapati Minho yang berada di ruang tengah dengan pemandangan tamat buatan dan sebuah kolam ikan ukuran kecil dengan percikan-percikan air yang menetes dari bebatuan buatan ke air kolam yang tergenang. 

"Cuma orang salah sambung tante Eve." Bohong! Minho jelas-jelas tengah berbohong. 

"Oh... Begitu." Evellyn manggut-manggut. "Ayo kita makan. Kamu belum makan bukan?" 

Minho manggut-manggut dengan semangat delapan enam. "Iya tante." 

"Kita bikin omelet kesukaanmu saja, bagaimana?" tanya Evellyn sambil berjalan menuruni tangga lantai dua rumah besar bergaya modern-klasik, diikuti Minho dibelakangnya. 

"Lebih bagus lagi kalau begitu tante!" seru Minho dengan suasana hati tengah bersemangat – tidak seperti saat tadi menerima telepon dari gadis disebarang sana. Membuat Evellyn tersenyum. 

=_oOo_=

Seoul, South Korea 

Rumah keluarga Kim.

"Kenapa kau selalu dingin padaku? Padahal aku tahu kau begitu menyukaiku. Hanya saja... Yah, kau tak ingin mengakuinya bukan? Huh! Dasar pria es sialan!" maki Kim Hyorin sambil memandangi layar handphone miliknya. 

Membuat suara tawa terdengar dari kursi depan meja hias. "Dia lagi?" Suara seorang gadis berambut ombre terdengar ditelinga Kim Hyorin – Hyorin manggut-manggut, mengiyakan. 

Gadis berambut ombre tertawa, lagi. "Kau masih saja mengejar pria yang menolakmu mentah-mentah," ledeknya. 

"Hey dia tidak menolakku mentah-mentah. Hanya saja dia belum mau mengakui bahwa dia menyukaiku. Tepatnya dia belum menolakku!" bantah Hyorin. 

Gadis berambut ombre mendengus. "Sama saja!" Ia merebahkan kepalanya di kasur ukuran king size yang terletak di depan jendela kaca besar dengan outview gedung pencakar langit disekitarnya. Sungguh mahakarya yang indah, hasil rancangan para arsitektur ternama, baik yang berasal dari Korea Selatan maupun dari manca negara. 

"Tidak, itu tidak sama!" bantah Hyorin, lagi. "Itu lebih ke—Hey, sedangkan kau saja masih mengharapkan mantan kekasihmu itu kembali," ucap Hyorin tak mau kalah. "Kau saja tak tahu dia sedang apa di London, dan bersama siapa. Katanya gadis-gadis disana terkenal sangat cantik dan errr.. seksi." Hyorin membalas ledekkan temannya itu – lebih tepatnya sudah seperti adiknya sendiri, karena usia mereka terpaut tiga tahun. Usia yang sama yang dimiliki oleh adik tirinya. 

Gadis berambut ombre itu mendesah berat. "Ugh! Kau tidak mengerti perasaanku," sungutnya kesal. Merasa dirinya diserang balik dengan ledekkan oleh orang yang awalnya tadi tengah diledeknya. 

Hyorin terkekeh. "Maaf deh maaf...," ucapnya sambil memeluk gadis berambut ombre yang terbaring disampingnya. 

"Kak bagaimana dengan Jongin? Apa kabarnya ya sekarang ini?" tanya gadis berambut ombre ketika melihat foto keluarga yang terpajang disalah satu dinding kamar milik Hyorin. 

"Tak tahulah! Mungkin tengah bersenang-senang dengan gadis-gadis penggoda seperti biasanya," jawab Hyorin asal. Sejujurnya dia pun tak tahu mengenai keadaan adik tirinya itu. Semenjak Kim Jongin pergi, ia tak pernah sekalipun menghubunginya. Mereka berdua memang tidak cukup dekat setelah beranjak dewasa. 

=_oOo_=

London, Inggris 

Di sebuah kafe yang terletak di 115 Buckingham Palace Road, Caffe Nero – tampak seorang pria dengan jaket kulit berwarna hitam dipadukan dengan T-shirt putih, celana levis panjang hitam dan sepatu dengan kualitas terbaik di seluruh dunia, tengah duduk dekat kaca jendela besar yang mengarah ke jalan sembari menikmati secangkir Cappucino de Nero – salah satu minuman yang paling banyak diminati para kaum adam di kota London jika mereka berkunjung ke daerah ini. 

Caffe Nero adalah salah satu kafe yang terkenal di seluruh penjuru kota London karena minuman dan makanan ala breakfast yang sangat lezat, dibuat oleh para koki handal dalam menyajikan menu yang teramat sangat membuat orang ketagihan jika sudah sekali mencicipinya, akan datang kembali untuk mencicipinya. 

"Hey darling," bisik seorang gadis berambut blonde pada telinga pria itu sembari mengecup pipinya. Pria itu hanya diam tak bereaksi. 

Gadis berambut blonde mengambil tempat duduk tepat di depan pria muda itu, kemudian memanggil seorang pelayan kafe. 

"Selamat datang pelanggan, ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan pria dengan ramah. 

"Aku pesan satu Hot chocolate dan Chocolate cake," kata gadis berambut blonde yang tengah membaca menu list dalam sebuah buku dengan panjang 30 cm dan lebar 15 cm. 

"Baik. Akan segera kami sajikan dalam 5 menit," ucap pelayan pria itu sembari menyudahi catatan pesanan dari gadis itu. Lalu ia menuju Nero's caffe bar – tempat pemesanan dari pelanggan disampaikan ke Nero's pantry

"Maaf aku membuatmu menunggu," ucap gadis berambut blonde itu sambil menyentuh tanggan besar milik pria dihadapannya. "Tadi aku masih punya sesi pemotretan majalah." 

Pria itu masih tak bereaksi. Bahkan tak ada senyum dibibirnya. Semenit, dua menit bahkan sampai lima menit kemudian pria itu masih tak bereaksi padanya. Marah kah? 

"Ini pesanannya nona," ucap pelayan pria itu sembari meletakkan secangkir Hot chocolate dan sepiring Chocolate cake yang tampak lezat bahkan dengan hanya melihatnya saja. 

Gadis berambut blonde itu mulai melepaskan pegangan tangannya dan mendongak menatap pelayan pria itu sambil tersenyum. "Thank you." Dibalas dengan senyuman dan tundukkan kepala dari pelayan pria itu sebelum berlalu dari meja yang ditempati sepasang kekasih itu. 

"Apa kau marah padaku?" tanya gadis berambut blonde itu. "Aku kan sudah minta maaf. Aku ben--." 

"Kim Jongin!" seru seorang pria dengan rambut berwarna hitam yang baru datang di kafe sembari tangan kanannya, ia gunakan untuk dilingkar pada leher pria bernama Kim Jongin – pria dengan jaket kulit berwarna hitam itu. 

Melihat pria yang baru saja datang ini membuat Ariana Grande – gadis berambut blonde itu tampak tidak senang dengan kedatangannya. 

"Kau darimana saja, Taemin? Kau tak kelihatan tiga hari ini," tanya Jongin pada sahabatnya itu – ia baru membuka suaranya. 

Taemin terkekeh. "Kenapa? Apa kau merindukanku?" Ia tidak menjawab tapi kembali bertanya.
"Tsk!" Jongin berdecak kesal. Lee Taemin! Beruntung kau adalah sahabatku, jika tidak kubunuh kau! umpat Jongin dalam hati. Sedangkan Ariana tampak memutar bola matanya, kesal. 

Taemin terkekeh, lagi. "Kau tidak perlu menatapku dengan tatapan seperti itu Ariana," katanya saat matanya tengah beralih pada manik mata Ariana yang menatapnya dengan gusar. 

"Aku tidak memandangimu Tuan Lee!" sangkalnya dengan nada tekanan suara meninggi pada dua kata terakhir. 

Taemin mendengus. "Baiklah jika tidak!" Tampak senyum sinis dari kedua wajah yang saling menatap – Taemin dan Ariana. Bagi Taemin, Ariana adalah seorang gadis yang tak lebih dari seorang gadis penggoda. Sedangkan bagi Ariana, Taemin adalah dinding antara hubungannya dengan Kim Jongin – kekasih yang sebenarnya hanyalah errr... patner seks. 

"Bisakah kalian berdua hentikan pertengkaran bayi kalian?" tanya Jongin dengan suara yang terdengar sudah cukup gusar mendengar pertengkaran antara dua insan yang seperti bayi pada usia mereka yang sudah beranjak dewasa. 

Taemin berdehem dan sedikit terkekeh sambil melepaskan rangkulannya dari tubuh Jongin. Sementara Ariana tampak meneguk secangkir Hot Chocolate miliknya. 

Beberapa menit berlalu dengan perbincangan hanya antara dua pemuda tampan itu dalam bahasa Korea. Sementara Ariana yang sama sekali tidak begitu memahami bahasa Korea, tengah mencicipi Chocolate cake dengan cake fork sembari menggesek-gesekkan salah satu kakinya naik turun, menjelajahi tiap inci kaki Kim Jongin dari balik celana levis yang ia gunakan dari bawah meja. Sial! Kim Jongin mulai merasakan sengatan listrik pada tubuhnya. Membuatnya beberapa kali tergagap saat bicara dengan Taemin, beberapa kali berdehem, dan beberapa kali tampak sulit mengontrol hasrat kelaki-lakiannya. Sial! Kalau begini, selangkangannya meronta dan meminta pelepasan segera. Ariana yang menyadari hal itu tidak menghentikan aktivitas kakinya malah semakin menjadi-jadi sambil tersenyum nakal menatap Jongin – sesekali mencicipi kembali cake atau Hot chocolate sambil tersenyum lagi penuh kemenangan pada wajahnya. 

"Oh shit! Kalau kalian sudah horny, segeralah cari kamar untuk melakukannya!" gerutu Taemin yang baru sadar tingkah dua insan yang sedang bersamanya ini. 

"Ehem!" Jongin berdehem. 

"Tsk!" Ariana berdecak kesal. 

Good job Taemin! Kau menambah bara api yang lebih siap memanggangmu sekarang juga. Untuk kesekian kalinya, Taemin mengganggu kesenanganya lagi. Tapi—Hm, kali ini Taemin menyuruh mereka mencari kamar untuk melakukannya bukan mencoba mengganggu. Cukuplah untuk menebus dosa biang penganggu yang melekat pada dirinya, menurut Ariana. Apakah Taemin sudah menyerah untuk menghalang-halangi hubungan keduanya? Entahlah... Hanya Taemin dan Tuhan yang tahu. 

"Kalau begitu menyingkirlah dari sini agar kami bisa segera pergi mencari kamar," kata Ariana – lebih tepat kalimat ini adalah sindiran untuk Taemin agar segeralah menyingkir dari hadapannya. 

"Kau tidak perlu menyuruhku! Aku tahu pikiranmu Nona Grande," ucap Taemin dengan menekankan pada kalimat terakhir. 

"Bagus kalau kau tahu! Akhirnya kau punya indra kepekaan juga!" ledek Ariana. Tunggu... Indra kepekaan? Sejak kapan manusia punya enam indra selain lima indra yang diciptakan Sang Maha Pencipta? Hanya Ariana Grande yang mengkategorikan manusia – errr.. tepatnya Taemin, mempunyai enam indra. 

"Sudah cukup!" tegur Jongin setelah memutar bola matanya, kesal. "Kalian itu sudah dewasa. Masih saja terus bertengkar? Kalian tak lebih dari anak usia sekolah dasar yang sedang memperebutkan mainan," gerutu Jongin yang tampak sudah sangat jengkel mendengar pertengkaran yang tak kunjung berakhir itu. Membuat keduanya terdiam. 

=_oOo_=

Jakarta, Indonesia 

Malam harinya. 

Rumah kediaman keluarga Agung Setiadi tampak tenang tak seperti malam-malam kemarin dimana Cherlyn mencoba membunuh dirinya sendiri sehingga suasana tampak tegang saat itu. Namun kali ini Cherlyn tampak tenang. 

"Minho, kau kah itu?" tanya Cherlyn setelah mengerjapkan beberapa kali matanya menatap sosok pria dengan T-shirt abu-abu leher V, yang tengah berdiri di tepian tempat tidur miliknya dengan kedua tangan dilipat di bawah dada. 

"Hmm... Cher. Ini aku, Minho." Pria itu langsung mengambil tempat duduk di tepi tempat tidur Cherlyn – gadis berambut coklat legam. 

"Ternyata benar-benar kau." Cherlyn langsung bangun dan memeluk tubuh Minho yang tentu saja dibalas olehnya. 

"Maafkan aku baru datang menemuimu. Maafkan aku terlambat datang," gumam Minho pelan sambil membelai rambut panjang yang terurai itu. 

Cherlyn menggeleng masih dalam pelukan Minho. Butiran airmata yang seolah terkurung sekian lamanya langsung mengguyur deras seperti hujan, membahasi kedua pipinya. 

"Reza, No... Reza...," ucap lirih Cherlyn masih dengan posisi yang sama. – No adalah penggalan dari nama kecil Choi Minho, yakni Ino. Nama yang diberikan oleh Cherlyn sewaktu mereka kecil. Meski usia mereka terpaut tiga tahun, namun Cherlyn tidak pernah memanggil Minho dengan sebutan kakak. 

"Ya, aku tahu. Makanya aku minta maaf aku datang terlambat menemuimu. Maafkan aku Cher. Aku akan segera membawamu pergi dari sini," kata Minho sambil kembali membelai rambut coklat legam milik Cherlyn. 

"Benarkah?" tanya Cherlyn sambil melepaskan pelukan mereka. 

Minho manggut-manggut. "Iya, kita akan pergi jauh dari sini." Ia menangkup wajah gadis itu dan menghapus airmata dari wajahnya. 

"Hmm..." Giliran Cherlyn manggut-manggut. 

=_oOo_=

"Minho, bagaimana? Apa Cherlyn sudah mau makan?" tanya Evellyn pada pria yang tengah berjalan menuruni tangga dari lantai dua, dengan tatapan khawatir. Karena hampir beberapa hari ini, Cherlyn selalu menolak memasukkan sesuap nasi kedalam mulutnya. 
 
Minho tersenyum lebar sambil menunjukkan nampan dengan isi piring yang sudah kosong. Membuat Evellyn menghela napas lega. 

"Sykurlah," ujar Evellyn senang. "Untungnya kamu ada disini Minho. Jika tidak ada kamu, tante tidak tahu apa yang harus tante lakukan. Om Agus sedang berada di California mengurus cabang perusahaan disana. Bahkan Linda saja hampir menyerah menangani depresi Cherlyn. Ah—Dia bukan dokter ahli jiwa sepertimu, wajar saja dia menyerah dan menyuruh tante menghubungimu." Evellyn baru mengingat kalau dokter Linda Setiadi atau yang lebih dikenal sekarang sebagai Linda Cahyadi, istri dari Pram Cahyadi – direktur manajemen dan perencanaan Agung Setiadi Group bukanlah dokter ahli jiwa tapi dokter umum. 

"Tante Linda bagaimana kabarnya, tante?" tanya Minho sambil meletakkan nampan diatas pantry yang langsung ditangani pelayan rumah untuk mencuci piring kotor. 

"Dia dalam perjalanan kemari. Katanya sudah lama tidak menemuimu. Jadi sepulang dari rumah sakit, dia akan langsung menuju kemari," jawab Evellyn. 

Piiph... Piiph... Suara klakson mobil terdengar memasuki pelataran rumah besar bergaya modern-klasik milik keluarga Agung Setiadi. 

"Nah itu dia sudah datang," ucap Evellyn sembari meletakkan gelas kopi miliknya diatas pantry dan menuju pintu depan menjemput sahabat sekaligus adik iparnya itu. Diikuti oleh Minho dari belakang. 

"Choi Minho!" seru Linda dengan girangnya sembari mempercepat langkah kakinya mendapati pria bertubuh tinggi yang menunggunya di depan pintu masuk rumah. 

"Tante Linda... Long time no see you aunty," ucap Minho tak kalah girangnya menemui Linda – dokter pertama yang menjadi panutannya untuk merawat orang sakit. Meski pada akhirnya, ia lebih tertarik menekuni dunia kejiwaan. 

Hampir sejam mereka bertiga duduk mengobrol banyak hal. Mulai dari mengingat masa kecil Minho dan Cherlyn sampai membuka kembali beberapa kumpulan album lama dimana ada banyak foto kebersamaan Minho dengan Cherlyn sampai mereka usia 8 tahun dan mengharuskan Minho kembali pindah ke Korea Selatan bersama kedua orang tuanya. 

Drrrt... Drrrt... Drrrt... Bunyi getar handphone milik Minho. 

Tertera pada layar handphone: Direktur – Seo In Gook. 

"Halo," sapa Minho setelah memisahkan diri dari dua wanita paruh baya yang tengah duduk memperhatikan foto-foto di album lama sembari tertawa. 

"Kau masih di Indonesia?" tanya Seo In Gook dari seberang telepon. 

"Ya, masih. Ada apa?" Kini Minho yang kembali bertanya. 

"Kapan kau kembali?" Seo In Gook bertanya, lagi. 

"Besok," jawab Minho singkat. 

Seo In Gook tampak menghela napas diujung sana. "Kau bisa membantuku? Kumohon Choi Minho. Aku adalah sahabatmu, jadi tolong bantulah aku," pinta In Gook. 

"Apa yang bisa kubantu?" tanya Minho. 

Meski dengan sangat terpaksa dan sedikit berberat hati, Minho akhirnya menyetujui permintaan sahabatnya itu. Ia tahu itu pilihan yang sulit untuk ia buat, tapi demi rumah sakit yang dibangun dengan susah payah oleh almarhumah ayahnya, ia harus melakukan itu. 

Diruang tengah. 

"Apa?!" pekik Evellyn tak percaya kalimat itu keluar dari mulut Minho. Tidak hanya Evellyn tapi Linda pun bahkan tak percaya mendengar penuturan keponakan mereka. 

"Kau tahu Minho, kau tidak bisa melakukan itu!" tegas Linda. Dan Evellyn menyetujui hal itu. 

"Minho, dengan membawanya kesana justru akan menambah luka baru baginya. Kau tidak tahu itu?" tanya Evellyn. "Tante rasa kau cukup tahu karena kau adalah ahli jiwa." 

"Karena aku tahu tante, jadi aku akan mulai mencoba menyembuhkannya dari kenangan dimana waktunya berhenti. Tempat dimana orang itu meregang nyawa," ungkap Minho. Membuat Evellyn dan Linda mendesah lalu saling menatap dengan khawatir. 

"I am her physician. I know what should I do to get her better soon," ucap Minho – fasih dalam bahasa Inggris. 

"Oh Minho... Tante—Entahlah apa yang harus tante katakan," tutur Evellyn lirih seolah hampir pasrah dengan keadaan. 

"Tante Eve, just trust me please! Aku akan menyembuhkannya mulai dari situ," ucap Minho penuh keyakinan. 

Evellyn mulai menangis. Dari lubuk hatinya, ia tidak ingin melepaskan Cherlyn menjalani pengobatan disana meski sementara saja. 

Minho menghela napas. "Tante tahu ini juga pilihan yang sulit untukku. Satu sisi aku tak ingin dia kesana. Kalau aku ingin membawanya keujung dunia sekalipun, aku akan membawanya kesana tapi tidak dengan tempat itu. Hanya saja sisi yang lain adalah pertemuan kepala rumah sakit itu sangat penting untuk satu-satunya kenangan ayah yang tersisa. Tante tahu masa-masa sulit kami. Aku harap tante mengerti selain untuk menyembuhkan dia dari sana, aku juga akan menyelamatkan rumah sakit yang ayah bangun dengan perjuangannya sampai ia meninggal," ungkap Minho. Ia berjongkok dan menatap sendu manik mata wanita paruh baya yang tengah duduk di sofa sembari menitihkan airmata dari kelopak matanya. Ini juga keputusan sulit, bantinnya.
_____
September 13rd, 2015 [Halo readers akhirnya chapter 2 hadir. Well, Tell me how it going!  VOMENTS please] Ingat 500-700juta kalo PLAGIAT!