Senin, 07 September 2015

Chap.1 WITHOUT YOU -it was nothing- [Random Genre]



WITHOUT YOU



- it was nothing -



Chapter 1


Maret 2012, Indonesia

Pria itu merengkuh dan memeluk erat tubuh mungil milik seorang gadis berparas cantik dihadapannya. Pria itu melepas pelukan mereka setelah beberapa saat. Ditatapnya iris mata coklat milik gadis yang tengah menahan tangis dipelupuk mata. Pria berambut coklat legam itu kemudian menangkup wajah gadis cantik dengan bibir kecil mungil berwarna merah jambu – seolah minta untuk dilumat sekarang juga. 

Tanpa menunggu waktu yang lama, pria itu langsung mendaratkan sebuah kecupan pada bibir mungil milik gadis itu. Awalnya berupa kecupan saja, namun lama kelamaan berupa lumatan. Gadis itu tampak membalas lumatan dari bibir pria yang dicintainya itu. Tangannya secara reflek melingkar pada leher pria yang kini tangannya mulai berpindah kebagian pinggang gadis cantik itu, mengusapnya pelan dengan telapak tangan besar miliknya, menimbulkan sensasi yang membuat darah kian berdesir, debaran jantung kian berdegub dengan kencang, bahkan sesekali terdengar desahan yang tertahan ditenggorokkan saat area selangkangan mereka saling bergesek-gesek menimbulkan sensasi tersendiri. Ciuman sepasang kekasih ini semakin intens. Membuat sulit untuk bernafas dengan baik, seolah tidak ada udara yang cukup disekitar keduanya. Terkadang kepala mereka miring kesisi yang berlawanan sehingga membuat deru nafas lebih terengah-rengah. Mereka saling melumat, memagut dan mengambil kesempatan disaat mulut lawan terbuka untuk menyusupkan lidah menjelajahi rongga mulut lawan dengan saling melilit dan bermain didalamnya, sehingga kedua bibir itu terus berpautan panas. Hasrat kedua insan manusia ini kian bergejolak hebat. 

“Hhh… Hhh…” Keduanya berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya saat bibir mereka terpisah untuk sesaat. Tangan pria itu kembali menangkup wajah gadis itu, sehingga membuat hidung keduanya saling bersentuhan satu sama lain. Mereka juga dapat saling mendengar bunyi nafas terengah-engah milik masing-masing. 

Pria itu memegang kepala gadis cantik itu dengan tangan yang satu, dan tangan yang lain kembali turun pada pinggang gadis itu mengusapnya lagi. 

“Nghhh… Kau memang luar biasa sayang,” gumam pria itu ditelinga gadis cantik yang menahan geli saat gumam-an itu lebih terdengar seperti suara desahan. 

Gadis cantik itu melepas lingkaran tangannya dari leher pria tampan berambut coklat legam dengan iris mata kehitaman miliknya. 

“Apa kau memang harus pergi ke London?” tanya gadis cantik yang baru membuka suaranya itu. 

Pria itu menghela napas. “Aku harus pergi. Aku sangat susah payah mendapatkan beasiswa itu tanpa bantuan orang tuaku, kau tahu itu.” 

Matanya menatap manik mata yang kemudian membuang tatapan darinya dengan bulir airmata yang mulai membasahi pipi gadis itu. 

“Kau tahu kita masih bisa long distance relationship,” ucap pria itu sambil menarik dagu gadis itu hingga tatapan mereka kembali bertemu. 

“Ya tapi itu tidak sama dengan kau ada disini,” kata gadis itu. 

Pria itu kemudian menggunakan kedua tangannya mengusap airmata dari wajah gadis yang menjadi kekasihnya itu. 

“Aku tahu. Tapi aku harap kau mengerti keputusanku,” pinta pria itu. “Aku janji saat liburan musim dingin nanti aku akan datang kesini.” 

“Baiklah. Tapi kau harus janji,” kata gadis itu sambil menahan kedua tangan besar milik pria yang tengah berada pada wajahnya. 

“Aku janji.”

=_oOo_=

November 2012, Indonesia 

Kring… Kring… Kring… 

Bunyi alarm menunjukkan pukul 7.00 AM namun gadis cantik berambut coklat legam itu belum juga ingin bangun dari tidur lelapnya. Meski cahaya matahari pagi yang masuk berebutan lewat celah gorden berwarna coklat muda sedikit terbuka dari balik kaca besar milik kamar yang tampak luas dan mewah. 

Kring… Kring… Kring...

Bunyi alarm yang begitu kuat seharusnya berhasil membangunkan kucing tetangga yang masih tidur – tapi tidak dengan gadis ini. Sampai akhirnya getaran handphone miliknya yang berada dalam genggamannya membangunkannya dari tidur pulasnya. 

Semalaman gadis cantik itu tidur bersama handphone ditangannya demi membangunkannya kalau kekasihnya dari London menghubunginya begitu tiba di Indonesia. 

Tertera pada layar handphone: Nathasia Aditya 

“Halo Syah,” ucap gadis cantik itu begitu menjawab dering telepon – Syah adalah nama kesayangan darinya untuk Nathasia, sahabat dekat sekaligus adik sepupu dari kekasihnya. 

Nathasia tidak menjawab. Hanya terdengar suara isak tangis yang mulai pecah dari ujung telepon. 

“Syah, kamu kenapa?” tanya gadis berambut coklat legam itu dengan suara berat setengah mengantuk. 

“Cherlyn…” ucap Nathasia terhenti disambung lagi dengan suara tangisan yang lebih menjadi-jadi. 

Perasaan gadis berambut coklat legam itu mulai berkecamuk. Ada apa ini? batinnya. 

“Syah tarik napas dulu, keluarkan baru cerita deh. Ada apa?” 

“Kak Reza, Cher. Kak Reza…” sebut Nathasia. 

DEG! 

Mendengar nama Reza langsung membuat tubuhnya bangun sepenuhnya dari posisi tidur telungkup sedari tadi. 

“Reza? Re-za ke-ke-napa Syah?” suara Cherlyn mulai terdengar terbata-bata. Sedang suara diseberang telepon sana mulai terdengar parau saat menjelaskan apa yang dimaksudkannya pada Cherlyn. 

Mendengar semua penuturan Nathasia, membuat sekujur tubuh Cherlyn terasa lemah tak bertulang. Handphone yang tadi dia genggam telah jatuh asal. Dia mencoba berdiri dari tempat tidur, berjalan mendekati foto – fotonya bersama Reza Aditya – berukuran besar yang terpajang didinding kamar berwarna putih berbalut merah muda kesukaannya. 

Bulir airmata yang sejak tadi merembes keluar, kian membasahi kedua pipinya. 

“Tidak! Tidak! Tidak!” gumamnya pelan. “TIDAK!!!” pekiknya yang sudah seperti teriakan histeris dari pita suaranya, disusul bunyi pecahan barang disekitarnya. 

“Cherlyn!” seru wanita paruh baya yang masuk kedalam kamar putri sematawayangnya begitu mendengar teriakan dan pecahnya sejumlah perabotan di kamar gadis cantik itu. Sepertinya wanita paruh baya ini juga baru mendengar berita buruk yang sama, karena tampak pada genggaman tangannya ada telepon genggam rumah – yang tampak seperti handphone karena bisa dibawa-bawa sampai beberapa jarak tertentu. 

Cherlyn terjatuh tersungkur dilantai sambil menangis, sesekali menepuk-nepuk dadanya. Melihat itu ibunya langsung memeluknya. 

“Sssst… Anak mama, anak gadis mama, anak cantik mama, anak kesayangan mama, kamu pasti bisa, tabah nak. Sssst… Jangan menangis lagi. Ikhlaskan kepergiannya.” 

Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Cherlyn. Hanya tangisan yang lebih terdengar seperti jeritan disela-sela isak tangisnya.

=_oOo_=

Siang harinya. 

Rumah kediaman keluarga besar Aditya dipenuhi dengan pelayat yang datang melayat atas meninggalnya Reza Aditya – cucu pertama, satu-satunya lelaki yang disebut-sebut sebagai pewaris tunggal seluruh aset harta kekayaan Aditya Group

Seluruh kerabat dekat, rekan Reza bahkan relasi bisnis Aditya Group berbondong-bondong datang menyatakan rasa turut berbela sungkawa atas kematian Reza Aditya. Belum ada jenazah Reza yang tiba dirumah namun tangis di rumah besar bergaya Eropa itu terdengar memecah – tangisan itu datang dari ibunya Reza, wanita paruh baya yang tengah menatap foto putra sematawayangnya sambil menangis dan sesekali menjerit. Membuat orang-orang disekitarnya menaruh rasa iba dan luka yang dalam seperti wanita paruh baya itu. 

Cherlyn turun dari mobilnya meski dengan langkah kaki yang tertatih, dia berusaha masuk kedalam rumah besar milik keluarga Aditya. Meski ibunya telah melarangnya dan menyuruhnya untuk beristirahat dikarenakan wajahnya yang tampak pucat, namun semua itu tidak dihiraukan oleh Cherlyn. 

Cherlyn tiba di depan pintu rumah keluarga Aditya, mencari-cari sosok yang sangat ingin dia lihat – tepatnya sosok yang dia sangat harapkan masih ada, bahwa berita buruk yang menimpanya dan keluarga besar Aditya adalah mimpi bukan kenyataan. Namun nihil. Cherlyn tak menemukan sosok yang dia rindukan beberapa bulan belakangan ini. 

“Kamu?” suara wanita paruh baya yang tengah menatap foto putranya, beralih menatap sosok tubuh Cherlyn didepan pintu. 

“Kamu!” Wanita paruh baya itu meletakkan foto putranya, melepas pelukan beberapa kerabat yang tengah memeluknya. Berjalan menghampiri Cherlyn didepan pintu. 

PLAK! 

Sebuah tamparan keras melayang diudara dan mendarat pada pipi Cherlyn yang langsung meninggalkan bekas kemerahan disana. 

“Apa yang anda lakukan Nyonya Aditya?!” pekik wanita paruh baya yang berdiri agak jauh dari depan pintu. Kini berlari menuju pintu rumah keluarga Aditya, mendapati putri sematawayangnya itu dan mendekapnya.

“Kau perempuan sialan! Kembalikan putraku! Kembalikan Reza padaku!” seru wanita paruh baya – ibunya Reza Aditya, sambil mengoyak-ngoyakan tubuh Cherlyn. 

“Hentikan bu Andine! Anda menyakiti putriku. Reza sudah pergi. Bukan hanya anda yang terluka dan kehilangan, tapi putriku juga,” ungkap ibunya Cherlyn. 

Mata Ibu Andine – Nyonya Andine Aditya, ibu dari Reza Aditya, menatap nanar kearah wanita paruh baya berbaju hitam yang tengah memeluk putrinya. 

“Putrimu masih hidup. Kau masih bisa hidup tua dengan bahagia melihat putrimu tumbuh dewasa. Tapi putraku sudah meninggal. Bagaimana aku harus hidup lagi?” suara Andine meninggi dan terdengar parau seperti kehabisan suara pada pita suaranya – antara terlalu banyak menangis atau terlalu banyak berteriak histeris. 

“Tante… Tante… Sudah,” ucap Nathasia yang baru saja tiba dari dapur – setelah melayani para pelayat yang datang dengan makanan dan minuman. “Ini bukan salah Cherlyn. Ikhlaskan kepergian kak Reza, tante.” 

Nathasia memeluk erat tubuh wanita yang tak bisa melangkahkan kakinya dengan baik berjalan menginjak lantai rumah, dan akhirnya tubuhnya ambruk seketika. Membuat keluarga Aditya panik dan memanggil dokter. 

Bukan hanya tubuh wanita paruh baya itu yang ambruk, namun tubuh Cherlyn juga ambruk dalam pelukan ibunya. Membuat ibunya panik, juga Nathasia. Nathasia memerintahkan beberapa pelayan rumah untuk membantu ibunya Cherlyn membopong tubuh Cherlyn menuju mobil milik mereka.

=_oOo_=

Malam harinya. 

Di rumah kediaman keluarga Agung Setiadi. Wanita paruh baya itu tampak gelisah menunggu putrinya tersadar dari pingsan yang dialaminya tadi siang. 

“Nyonya minum dulu ini,” kata seorang pelayan rumah tangga keluarga Agung Setiadi, sambil menyodorkan segelas air putih. 

“Saya tidak haus bi, letakkan saja dimeja.” Wanita itu berjalan menghampiri putrinya yang terbaring lemah ditempat tidur. 

“Baik nyah.” Pelayan itu meletakkan minuman dimeja kecil dekat lemari besar milik pemilik kamar itu. 

“Ijah, kalau Tuan telpon, sambungkan kekamar ini,” titah Nyonya rumah Agung Setiadi. 

“Baik bu.” Sambil membungkuk memberi hormat sebelum keluar dari kamar. 

Wanita paruh baya yang tampak sangat cantik meski diusianya yang hampir berkepala empat, menatap sendu putrinya. 

“Jangan siksa dirimu sayang. Mama tak bisa kehilanganmu. Bangun dan kuatkan hatimu. Jangan siksa dirimu lagi,” tutur wanita paruh baya itu lirih. Airmatanya menetes mebasahi pipinya dan terjatuh pada pipi putrinya. 

“Ma,” panggil Cherlyn yang baru tersadar dari pingsan. 

“Ya, ya sayang. Mama disini. Ada apa nak?” 

“Cherlyn kangen sama Reza,” ucap Cherlyn pelan. Membuat hati ibunya seperti teriris-iris pisau belati tajam. 

“Cherlyn…” 

“Mama bisa bawa Cherlyn pergi bersama Reza?” tanya Cherlyn sambil menatap sendu ibunya. Lebih terkoyak hati wanita paruh baya itu mendengar pertanyaan putrinya. 

“Tolong katakan sama Cherlyn, kalau mama bisa. Mama kan malaikatnya Cherlyn. Mama pasti bisa terbang membawa Cherlyn menemui Reza disana,” ucap Cherlyn yang tanpa ia sadari membuat wanita paruh baya ini menangis lebih dari sebelumnya. 

“Sayang, mama tidak bisa membawa kamu kesana. Mama tidak bisa. Mama tidak punya sayap seperti yang sering mama ceritakan sama kamu sewaktu kamu masih kecil,” tutur ibunya lirih. 

“Ah. Jadi mama tak punya sayap. Kalau begitu ayo kita buat sayap ma,” rengek Cherlyn – ia bertingkah seperti anak-anak yang masih bocah, bukan anak remaja berumur 18 tahun. 

“Cherlyn…” 

“Ah Cherlyn tahu, Cherlyn harus bangun, makan dan kuat biar bisa membuat sayap menemui Reza disana,” kata Cherlyn dengan tersenyum – namun senyuman itu bukan senyuman bahagia seperti Cherlyn yang perian dan ceria pada kesehariannya. Senyuman itu senyuman yang selama 18 tahun ini tak pernah dilihat oleh ibunya. Senyuman sedih yang terpampang jelas dari wajah putrinya. 

“Iya Cherlyn, harus makan biar kuat.” Maksud ibunya bukan biar kuat dan bisa membuat sayap menemui Reza seperti kata Cherlyn tadi. Tapi demi putrinya sendiri. Hampir seharian ini ia belum melihat sesuap nasi masuk dalam mulut Cherlyn.

=_oOo_=

Tiga hari sudah setelah berita buruk itu. Tiga hari sudah Cherlyn berkabung atas kematian kekasihnya. Sesekali begitu dia tersadar dan mengingat tentang Reza, dia berusaha membunuh dirinya sendiri dengan berbagai macam cara. Beruntung ibunya atau pembantu rumah tangga keluarga Agung Setiadi berhasil mencegahnya, kalau tidak entah apa yang akan terjadi pada putri sematawayang – pewaris tunggal keluarga Agung Setiadi Group

“Bagaimana keadaan Cherlyn, Lin?” tanya wanita paruh baya yang tampak cemas dari sorot matanya. 

Dokter Linda, dokter kepercayaan keluarga Agung Setiadi – wanita paruh baya yang umurnya lebih muda 2 tahun dibawah nyonya rumah keluarga Agung Setiadi ini, menghela napas dan menatap mata Evellyn Choi – atau yang dikenal sebagai Nyonya Evellyn Agung Setiadi. Wanita berdarah campuran Korea-Kanada yang menikah dengan orang Indonesia – Agung Setiadi, pemilik salah satu kerajaan bisnis yang paling berkuasa di Indonesia dan Asia Tenggara. 

Dokter Linda mengajak Evellyn keluar dari dalam kamar klien – kamar Cherlyn, setelah selesai memeriksa Cherlyn yang kini tengah tidur setelah diberi obat penenang. 

“Cherlyn menderita depresi berat Eve. Aku menyarankan untuk Cherlyn segera dibawa ke RSJ untuk dirawat secara intensif,” saran dokter Linda – sahabat dekat Evellyn dan adik kandung dari suaminya.

“Apa?!” pekik Evellyn. 

“Dia mempunyai risiko tinggi melukai dirinya sendiri dan orang-orang disekitarnya. Ini salah satu gangguan jiwa yang harus segera ditangani di RSJ dengan cepat. Jika tidak ditangani dia bisa menderita skizofrenia dan mung-,” jelas dokter Linda. 

“Tidak!” Dengan tegas Evellyn menolak rujukkan itu. Membuat dokter Linda sedikit terkejut saat Evellyn memotong penjelasannya. Bukan seperti Nyonya Evellyn yang biasanya dikenal ramah dengan mendengar penjelasan orang lain sampai tuntas baru ia akan berbicara seperlunya. 

“Maksudku Lin, apa tak ada cara lain selain harus dirawat di RSJ? Kau tahu bukan, kalau Cherlyn adalah satu-satunya pewaris Agung Setiadi Group? Mas Agung pasti akan sangat menolak hal itu. Kau tahu sendiri watak kakakmu yang keras itu,” kata Evellyn membuat dokter Linda manggut-manggut dan berusaha memikirkan cara lain untuk merawat Cherlyn. 

“Kalau begitu, kita telpon saja Minho di Seoul. Bukankah dia salah satu psikiater terbaik di Korea Selatan?” Ide cemerlang terlintas dibenak dokter Linda. Well, dokter Linda adalah dokter umum merangkap dokter keluarga bagi keluarga Agung Setiadi, bukan dokter spesialis jiwa. 

“Ya, sepertinya idemu bagus juga Lin.” 

Evellyn langsung memencet digit nomor pada telepon rumah yang terletak disamping tempat duduknya. Melakukan panggilan luar negeri. Dengan maksud menghubungi Choi Minho, keponakannya untuk merawat Cherlyn diam-diam disana.

=_oOo_=

Seoul, South Korea. 

Di sebuah rumah sakit terkenal dengan dua gedung pencakar langit yang dibangun dengan megah. Bediri kokoh dengan angkuhnya mempertunjukkan desain oleh seorang arsitektur terkenal kelas dunia dalam bidangnya. Dua gedung yang merupakan rumah sakit umum dan rumah sakit jiwa. Bedanya, rumah sakit umum jauh lebih tinggi dan luas dari rumah sakit jiwa disampingnya. Tapi tidak mengurangi keindahan desain mewah bergaya modern. 

Tampak pria bersetelan jas putih panjang sejingkal dibawah lutut dengan kemeja putih panjang, dasi berwarna hitam bergaris putih, dan celana berwarna hitam dengan sepatu hitam yang mengkilap bersih – tengah berjalan menyusuri lorong lantai enam gedung rumah sakit jiwa, diikuti oleh dua orang dokter muda dan empat orang residen dibawah tanggung jawabnya sebagai dokter ketua tim lantai enam untuk bagian skizofrenia

Terdengar suara teriakan dari ruang perawatan pasien. Minho beserta dokter-dokter lainnya segera berlari menuju kamar yang dimaksud. 

Kreeek… Pintu ruang kamar 8-B terbuka. 

“Pergi!” teriak klien jiwa – pria paruh baya dengan baju berwarna biru langit  ala rumah sakit. “Jika kalian tak ingin pergi, aku akan membunuh kalian dan akan membunuh diriku sendiri!” ancamnya. 

“APA YANG KAU LAKUKAN?!” teriak Minho dengan nada suara melengking se-isi ruangan kamar 8-B. 

“Pergi! Aku sudah bilang aku tidak ingin dirawat disini. Orang-orang itu mengatakan aku sudah sembuh,” kata pria paruh baya itu. 

Orang-orang yang dimaksudnya itu adalah orang-orang dalam halusinasinya – dibawah alam sadarnya, dia meyakini orang-orang itu nyata padahal tidak. 

“Pergi! Jangan mendekat!” seru pria paruh baya itu sambil menodongkan sebuah gunting yang sempat direbutnya sebelum itu dari tangan seorang perawat yang hendak merawat lukanya akibat kejadian sehari lalu, kepada Minho yang berjalan tanpa rasa takut mendekatinya. 

“Pergi! Atau aku akan –.” 

Jeritan dari para residen dan para perawat yang tengah bertugas hari itu melihat gunting itu hampir saja mencelakai leher Minho. Namun dasarnya Minho yang profesional menangani klien sakit jiwa seperti ini, jadi sudah biasa baginya. Minho menghindari serangan itu dan malah merobohkan pria paruh baya itu dengan suntikan yang tepat pada sasarannya. Apa lagi kalau bukan obat penenang yang dibutuhkan pria paruh baya itu. Semua yang melihatnya jadi tersenyum lega. Setidaknya perasaan khawatir terhadap dokter muda yang diusianya saat ini sudah berhasil menjadi seorang professor psikiatri – tampak berkurang. 

“Baringkan dia!” perintah Minho pada dua residen pria yang melongoh menatapnya dengan rasa takjub. 

Drrrt… Drrrt… Drrrt… Bunyi getar handphone Minho. 

Dari sorot matanya tampak senang melihat panggilan masuk luar negeri tertera pada handphone miliknya. 

“Halo tante Eve,” sapa Minho – fasih berbahasa Indonesia. 

“Choi Minho, apa itu kau? Sepertinya kau sudah lebih dewasa,” kata Evellyn dari seberang telepon. 

“Masa Minho mau kecil terus tante?” suara tawanya renyah diujung telepon, sambil berjalan menuju ruang kantornya yang terletak tak jauh dari ruangan tadi. 

Terdengar suara tawa Evellyn diseberang sana. “Minho, tante mau membahas tentang masalah Cherlyn.” 

Wajah Minho langsung berubah menjadi serius begitu mendengar nama Cherlyn – sepupu yang sangat disayanginya sejak kecil. 

Setelah mendengar penjelasan Evellyn panjang lebar. “Baiklah tante Eve. Minho akan ke Indonesia menjemput Cherlyn besok.” 


=_oOo_=

Jakarta, Indonesia 

Pesawat dari bandara Incheon, Seoul yang ditumpangi oleh Choi Minho tiba dan mendarat dengan selamat dibandara Seokarno-Hatta, Jakarta. 

Choi Minho berjalan dengan langkah tegap menuju mobil jemputan yang tengah menunggunya. Beberapa pasang mata wanita tampak terpesona melihat wajahnya. Hari ini Minho menggunakan T-shirt hitam yang mempertontonkan dada bidang dan ABS yang dia dapatkan dari hasil gym dari balik baju yang ia kenakan, dipadukan dengan celana levis berwarna biru, dan kacamata hitam miliknya. Sosok sempurna untuk seorang pria. Siapa yang bisa mendustai ketampanan dan keseksian pemuda itu? Tidak ada. 

Mobil yang dinaikinya melesat laju menembus kemacetan pagi Ibukota Indonesia, Jakarta. Hingga akhirnya tiba disebuah rumah mewah besar bergaya modern-klasik berlantai dua milik keluarga Agung Setiadi. 

“Minho.” Evellyn menyambut keponakannya itu dengan senyum hangat miliknya. 

“Halo tante,” sapa Minho ramah sambil membalas ciuman pipi dari tantenya itu. 

“Ayo masuk,” ajak Evellyn sambil mengisyaratkan pada pelayan rumah untuk membawa barang-barang Minho kekamar tamu. 

“Cherlyn mana tante?” tanya Minho setelah meliuk-liukkan kepalanya menatap kekiri dan kanan rumah besar ini. 

“Ada dikamarnya,” ucap Evellyn. 

“Nona muda! Nona muda turun! Bahaya!” teriak salah satu pelayan – tepatnya pengurus taman besar milik rumah mewah itu. Membuat Minho dan Evellyn saling menatap kemudian berlari keluar rumah melihat hal yang amat sangat tidak ingin dilihat oleh keduanya. 

Terutama Evellyn. 

Putrinya berdiri disisi luar beranda yang tidak dibatasi oleh pagar dibalkon kamarnya, dengan kedua tangan terentang sempurna dan kepala yang mendongak keatas. Dengan kaki yang bermain-main menutup dan membuka kearah samping kiri dan kanan – seolah mengambil posisi terbang. 

“Cherlyn!” pekik Evellyn menatap tindakan putrinya itu. 

_____
September 7th, 2015 [Happy birthday Christian Yu/Barom Yu. Happy getting older oppa. Saranghaeyo] – DON’T COPY PASTE! Denda 500juta plus penjara 7 tahun jika berani! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar