WITHOUT YOU
- it was nothing -
Chapter 1
Maret 2012, Indonesia
Pria
itu merengkuh dan memeluk erat tubuh mungil milik seorang gadis berparas cantik
dihadapannya. Pria itu melepas pelukan mereka setelah beberapa saat. Ditatapnya
iris mata coklat milik gadis yang tengah menahan tangis dipelupuk mata. Pria
berambut coklat legam itu kemudian menangkup wajah gadis cantik dengan bibir
kecil mungil berwarna merah jambu – seolah minta untuk dilumat sekarang juga.
Tanpa
menunggu waktu yang lama, pria itu langsung mendaratkan sebuah kecupan pada
bibir mungil milik gadis itu. Awalnya berupa kecupan saja, namun lama kelamaan
berupa lumatan. Gadis itu tampak membalas lumatan dari bibir pria yang
dicintainya itu. Tangannya secara reflek melingkar pada leher pria yang kini tangannya
mulai berpindah kebagian pinggang gadis cantik itu, mengusapnya pelan dengan
telapak tangan besar miliknya, menimbulkan sensasi yang membuat darah kian
berdesir, debaran jantung kian berdegub dengan kencang, bahkan sesekali
terdengar desahan yang tertahan ditenggorokkan saat area selangkangan mereka
saling bergesek-gesek menimbulkan sensasi tersendiri. Ciuman sepasang kekasih
ini semakin intens. Membuat sulit untuk bernafas dengan baik, seolah tidak ada
udara yang cukup disekitar keduanya. Terkadang kepala mereka miring kesisi yang
berlawanan sehingga membuat deru nafas lebih terengah-rengah. Mereka saling
melumat, memagut dan mengambil kesempatan disaat mulut lawan terbuka untuk
menyusupkan lidah menjelajahi rongga mulut lawan dengan saling melilit dan
bermain didalamnya, sehingga kedua bibir itu terus berpautan panas. Hasrat
kedua insan manusia ini kian bergejolak hebat.
“Hhh…
Hhh…” Keduanya berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya saat bibir mereka
terpisah untuk sesaat. Tangan pria itu kembali menangkup wajah gadis itu,
sehingga membuat hidung keduanya saling bersentuhan satu sama lain. Mereka juga
dapat saling mendengar bunyi nafas terengah-engah milik masing-masing.
Pria
itu memegang kepala gadis cantik itu dengan tangan yang satu, dan tangan yang
lain kembali turun pada pinggang gadis itu mengusapnya lagi.
“Nghhh…
Kau memang luar biasa sayang,” gumam pria itu ditelinga gadis cantik yang
menahan geli saat gumam-an itu lebih terdengar seperti suara desahan.
Gadis
cantik itu melepas lingkaran tangannya dari leher pria tampan berambut coklat
legam dengan iris mata kehitaman miliknya.
“Apa
kau memang harus pergi ke London?” tanya gadis cantik yang baru membuka
suaranya itu.
Pria
itu menghela napas. “Aku harus pergi. Aku sangat susah payah mendapatkan beasiswa
itu tanpa bantuan orang tuaku, kau tahu itu.”
Matanya
menatap manik mata yang kemudian membuang tatapan darinya dengan bulir airmata
yang mulai membasahi pipi gadis itu.
“Kau
tahu kita masih bisa long distance
relationship,” ucap pria itu sambil menarik dagu gadis itu hingga tatapan
mereka kembali bertemu.
“Ya
tapi itu tidak sama dengan kau ada disini,” kata gadis itu.
Pria
itu kemudian menggunakan kedua tangannya mengusap airmata dari wajah gadis yang
menjadi kekasihnya itu.
“Aku
tahu. Tapi aku harap kau mengerti keputusanku,” pinta pria itu. “Aku janji saat
liburan musim dingin nanti aku akan datang kesini.”
“Baiklah.
Tapi kau harus janji,” kata gadis itu sambil menahan kedua tangan besar milik
pria yang tengah berada pada wajahnya.
“Aku
janji.”
=_oOo_=
November 2012, Indonesia
Kring… Kring… Kring…
Bunyi
alarm menunjukkan pukul 7.00 AM namun gadis cantik berambut coklat legam itu
belum juga ingin bangun dari tidur lelapnya. Meski cahaya matahari pagi yang
masuk berebutan lewat celah gorden berwarna coklat muda sedikit terbuka dari
balik kaca besar milik kamar yang tampak luas dan mewah.
Kring… Kring… Kring...
Bunyi
alarm yang begitu kuat seharusnya berhasil membangunkan kucing tetangga yang
masih tidur – tapi tidak dengan gadis ini. Sampai akhirnya getaran handphone miliknya yang berada dalam
genggamannya membangunkannya dari tidur pulasnya.
Semalaman
gadis cantik itu tidur bersama handphone
ditangannya demi membangunkannya kalau kekasihnya dari London menghubunginya
begitu tiba di Indonesia.
Tertera
pada layar handphone: Nathasia Aditya
“Halo
Syah,” ucap gadis cantik itu begitu menjawab dering telepon – Syah adalah nama
kesayangan darinya untuk Nathasia, sahabat dekat sekaligus adik sepupu dari
kekasihnya.
Nathasia
tidak menjawab. Hanya terdengar suara isak tangis yang mulai pecah dari
ujung telepon.
“Syah,
kamu kenapa?” tanya gadis berambut coklat legam itu dengan suara berat setengah
mengantuk.
“Cherlyn…”
ucap Nathasia terhenti disambung lagi dengan suara tangisan yang lebih
menjadi-jadi.
Perasaan
gadis berambut coklat legam itu mulai berkecamuk. Ada apa ini? batinnya.
“Syah
tarik napas dulu, keluarkan baru cerita deh. Ada apa?”
“Kak
Reza, Cher. Kak Reza…” sebut Nathasia.
DEG!
Mendengar
nama Reza langsung membuat tubuhnya bangun sepenuhnya dari posisi tidur
telungkup sedari tadi.
“Reza?
Re-za ke-ke-napa Syah?” suara Cherlyn mulai terdengar terbata-bata. Sedang
suara diseberang telepon sana mulai terdengar parau saat menjelaskan apa yang
dimaksudkannya pada Cherlyn.
Mendengar
semua penuturan Nathasia, membuat sekujur tubuh Cherlyn terasa lemah tak
bertulang. Handphone yang tadi dia
genggam telah jatuh asal. Dia mencoba berdiri dari tempat tidur, berjalan
mendekati foto – fotonya bersama Reza Aditya – berukuran besar yang terpajang
didinding kamar berwarna putih berbalut merah muda kesukaannya.
Bulir
airmata yang sejak tadi merembes keluar, kian membasahi kedua pipinya.
“Tidak!
Tidak! Tidak!” gumamnya pelan. “TIDAK!!!” pekiknya yang sudah seperti teriakan
histeris dari pita suaranya, disusul bunyi pecahan barang disekitarnya.
“Cherlyn!”
seru wanita paruh baya yang masuk kedalam kamar putri sematawayangnya begitu
mendengar teriakan dan pecahnya sejumlah perabotan di kamar gadis cantik itu.
Sepertinya wanita paruh baya ini juga baru mendengar berita buruk yang sama,
karena tampak pada genggaman tangannya ada telepon genggam rumah – yang tampak
seperti handphone karena bisa
dibawa-bawa sampai beberapa jarak tertentu.
Cherlyn
terjatuh tersungkur dilantai sambil menangis, sesekali menepuk-nepuk dadanya.
Melihat itu ibunya langsung memeluknya.
“Sssst…
Anak mama, anak gadis mama, anak cantik mama, anak kesayangan mama, kamu pasti
bisa, tabah nak. Sssst… Jangan menangis lagi. Ikhlaskan kepergiannya.”
Tidak
ada kata-kata yang keluar dari mulut Cherlyn. Hanya tangisan yang lebih terdengar
seperti jeritan disela-sela isak tangisnya.
=_oOo_=
Siang
harinya.
Rumah
kediaman keluarga besar Aditya dipenuhi dengan pelayat yang datang melayat atas
meninggalnya Reza Aditya – cucu pertama, satu-satunya lelaki yang disebut-sebut
sebagai pewaris tunggal seluruh aset harta kekayaan Aditya Group.
Seluruh
kerabat dekat, rekan Reza bahkan relasi bisnis Aditya Group berbondong-bondong
datang menyatakan rasa turut berbela sungkawa atas kematian Reza Aditya. Belum
ada jenazah Reza yang tiba dirumah namun tangis di rumah besar bergaya Eropa
itu terdengar memecah – tangisan itu datang dari ibunya Reza, wanita paruh baya
yang tengah menatap foto putra sematawayangnya sambil menangis dan sesekali
menjerit. Membuat orang-orang disekitarnya menaruh rasa iba dan luka yang dalam
seperti wanita paruh baya itu.
Cherlyn
turun dari mobilnya meski dengan langkah kaki yang tertatih, dia berusaha masuk
kedalam rumah besar milik keluarga Aditya. Meski ibunya telah melarangnya dan
menyuruhnya untuk beristirahat dikarenakan wajahnya yang tampak pucat, namun
semua itu tidak dihiraukan oleh Cherlyn.
Cherlyn
tiba di depan pintu rumah keluarga Aditya, mencari-cari sosok yang sangat ingin
dia lihat – tepatnya sosok yang dia sangat harapkan masih ada, bahwa berita
buruk yang menimpanya dan keluarga besar Aditya adalah mimpi bukan kenyataan.
Namun nihil. Cherlyn tak menemukan sosok yang dia rindukan beberapa bulan
belakangan ini.
“Kamu?”
suara wanita paruh baya yang tengah menatap foto putranya, beralih menatap
sosok tubuh Cherlyn didepan pintu.
“Kamu!”
Wanita paruh baya itu meletakkan foto putranya, melepas pelukan beberapa
kerabat yang tengah memeluknya. Berjalan menghampiri Cherlyn didepan pintu.
PLAK!
Sebuah
tamparan keras melayang diudara dan mendarat pada pipi Cherlyn yang langsung
meninggalkan bekas kemerahan disana.
“Apa
yang anda lakukan Nyonya Aditya?!” pekik wanita paruh baya yang berdiri agak
jauh dari depan pintu. Kini berlari menuju pintu rumah keluarga Aditya,
mendapati putri sematawayangnya itu dan mendekapnya.
“Kau
perempuan sialan! Kembalikan putraku! Kembalikan Reza padaku!” seru wanita
paruh baya – ibunya Reza Aditya, sambil mengoyak-ngoyakan tubuh Cherlyn.
“Hentikan
bu Andine! Anda menyakiti putriku. Reza sudah pergi. Bukan hanya anda yang
terluka dan kehilangan, tapi putriku juga,” ungkap ibunya Cherlyn.
Mata
Ibu Andine – Nyonya Andine Aditya, ibu dari Reza Aditya, menatap nanar kearah
wanita paruh baya berbaju hitam yang tengah memeluk putrinya.
“Putrimu
masih hidup. Kau masih bisa hidup tua dengan bahagia melihat putrimu tumbuh
dewasa. Tapi putraku sudah meninggal. Bagaimana aku harus hidup lagi?” suara
Andine meninggi dan terdengar parau seperti kehabisan suara pada pita suaranya
– antara terlalu banyak menangis atau terlalu banyak berteriak histeris.
“Tante…
Tante… Sudah,” ucap Nathasia yang baru saja tiba dari dapur – setelah melayani
para pelayat yang datang dengan makanan dan minuman. “Ini bukan salah Cherlyn.
Ikhlaskan kepergian kak Reza, tante.”
Nathasia
memeluk erat tubuh wanita yang tak bisa melangkahkan kakinya dengan baik
berjalan menginjak lantai rumah, dan akhirnya tubuhnya ambruk seketika. Membuat
keluarga Aditya panik dan memanggil dokter.
Bukan
hanya tubuh wanita paruh baya itu yang ambruk, namun tubuh Cherlyn juga ambruk
dalam pelukan ibunya. Membuat ibunya panik, juga Nathasia. Nathasia
memerintahkan beberapa pelayan rumah untuk membantu ibunya Cherlyn membopong
tubuh Cherlyn menuju mobil milik mereka.
=_oOo_=
Malam
harinya.
Di
rumah kediaman keluarga Agung Setiadi. Wanita paruh baya itu tampak gelisah
menunggu putrinya tersadar dari pingsan yang dialaminya tadi siang.
“Nyonya
minum dulu ini,” kata seorang pelayan rumah tangga keluarga Agung Setiadi, sambil
menyodorkan segelas air putih.
“Saya
tidak haus bi, letakkan saja dimeja.” Wanita itu berjalan menghampiri putrinya
yang terbaring lemah ditempat tidur.
“Baik
nyah.” Pelayan itu meletakkan minuman dimeja kecil dekat lemari besar milik
pemilik kamar itu.
“Ijah,
kalau Tuan telpon, sambungkan kekamar ini,” titah Nyonya rumah Agung Setiadi.
“Baik
bu.” Sambil membungkuk memberi hormat sebelum keluar dari kamar.
Wanita
paruh baya yang tampak sangat cantik meski diusianya yang hampir berkepala
empat, menatap sendu putrinya.
“Jangan
siksa dirimu sayang. Mama tak bisa kehilanganmu. Bangun dan kuatkan hatimu.
Jangan siksa dirimu lagi,” tutur wanita paruh baya itu lirih. Airmatanya
menetes mebasahi pipinya dan terjatuh pada pipi putrinya.
“Ma,”
panggil Cherlyn yang baru tersadar dari pingsan.
“Ya,
ya sayang. Mama disini. Ada apa nak?”
“Cherlyn
kangen sama Reza,” ucap Cherlyn pelan. Membuat hati ibunya seperti teriris-iris
pisau belati tajam.
“Cherlyn…”
“Mama
bisa bawa Cherlyn pergi bersama Reza?” tanya Cherlyn sambil menatap sendu
ibunya. Lebih terkoyak hati wanita paruh baya itu mendengar pertanyaan
putrinya.
“Tolong
katakan sama Cherlyn, kalau mama bisa. Mama kan malaikatnya Cherlyn. Mama pasti
bisa terbang membawa Cherlyn menemui Reza disana,” ucap Cherlyn yang tanpa ia
sadari membuat wanita paruh baya ini menangis lebih dari sebelumnya.
“Sayang,
mama tidak bisa membawa kamu kesana. Mama tidak bisa. Mama tidak punya sayap
seperti yang sering mama ceritakan sama kamu sewaktu kamu masih kecil,” tutur
ibunya lirih.
“Ah.
Jadi mama tak punya sayap. Kalau begitu ayo kita buat sayap ma,” rengek Cherlyn
– ia bertingkah seperti anak-anak yang masih bocah, bukan anak remaja berumur
18 tahun.
“Cherlyn…”
“Ah
Cherlyn tahu, Cherlyn harus bangun, makan dan kuat biar bisa membuat sayap
menemui Reza disana,” kata Cherlyn dengan tersenyum – namun senyuman itu bukan
senyuman bahagia seperti Cherlyn yang perian dan ceria pada kesehariannya.
Senyuman itu senyuman yang selama 18 tahun ini tak pernah dilihat oleh ibunya.
Senyuman sedih yang terpampang jelas dari wajah putrinya.
“Iya
Cherlyn, harus makan biar kuat.” Maksud ibunya bukan biar kuat dan bisa membuat
sayap menemui Reza seperti kata Cherlyn tadi. Tapi demi putrinya sendiri.
Hampir seharian ini ia belum melihat sesuap nasi masuk dalam mulut Cherlyn.
=_oOo_=
Tiga
hari sudah setelah berita buruk itu. Tiga hari sudah Cherlyn berkabung atas
kematian kekasihnya. Sesekali begitu dia tersadar dan mengingat tentang Reza,
dia berusaha membunuh dirinya sendiri dengan berbagai macam cara. Beruntung
ibunya atau pembantu rumah tangga keluarga Agung Setiadi berhasil mencegahnya,
kalau tidak entah apa yang akan terjadi pada putri sematawayang – pewaris tunggal
keluarga Agung Setiadi Group.
“Bagaimana
keadaan Cherlyn, Lin?” tanya wanita paruh baya yang tampak cemas dari sorot
matanya.
Dokter
Linda, dokter kepercayaan keluarga Agung Setiadi – wanita paruh baya yang
umurnya lebih muda 2 tahun dibawah nyonya rumah keluarga Agung Setiadi ini,
menghela napas dan menatap mata Evellyn Choi – atau yang dikenal sebagai Nyonya
Evellyn Agung Setiadi. Wanita berdarah campuran Korea-Kanada yang menikah
dengan orang Indonesia – Agung Setiadi, pemilik salah satu kerajaan bisnis yang
paling berkuasa di Indonesia dan Asia Tenggara.
Dokter
Linda mengajak Evellyn keluar dari dalam kamar klien – kamar Cherlyn, setelah selesai memeriksa Cherlyn yang kini
tengah tidur setelah diberi obat penenang.
“Cherlyn
menderita depresi berat Eve. Aku menyarankan untuk Cherlyn segera dibawa ke RSJ
untuk dirawat secara intensif,” saran dokter Linda – sahabat dekat Evellyn dan
adik kandung dari suaminya.
“Apa?!”
pekik Evellyn.
“Dia
mempunyai risiko tinggi melukai dirinya sendiri dan orang-orang disekitarnya.
Ini salah satu gangguan jiwa yang harus segera ditangani di RSJ dengan cepat. Jika
tidak ditangani dia bisa menderita skizofrenia
dan mung-,” jelas dokter Linda.
“Tidak!”
Dengan tegas Evellyn menolak rujukkan itu. Membuat dokter Linda sedikit
terkejut saat Evellyn memotong penjelasannya. Bukan seperti Nyonya Evellyn yang
biasanya dikenal ramah dengan mendengar penjelasan orang lain sampai tuntas
baru ia akan berbicara seperlunya.
“Maksudku
Lin, apa tak ada cara lain selain harus dirawat di RSJ? Kau tahu bukan, kalau
Cherlyn adalah satu-satunya pewaris Agung Setiadi Group? Mas Agung pasti akan
sangat menolak hal itu. Kau tahu sendiri watak kakakmu yang keras itu,” kata
Evellyn membuat dokter Linda manggut-manggut dan berusaha memikirkan cara lain
untuk merawat Cherlyn.
“Kalau
begitu, kita telpon saja Minho di Seoul. Bukankah dia salah satu psikiater
terbaik di Korea Selatan?” Ide cemerlang terlintas dibenak dokter Linda. Well, dokter Linda adalah dokter umum
merangkap dokter keluarga bagi keluarga Agung Setiadi, bukan dokter spesialis
jiwa.
“Ya,
sepertinya idemu bagus juga Lin.”
Evellyn
langsung memencet digit nomor pada telepon rumah yang terletak disamping tempat
duduknya. Melakukan panggilan luar negeri. Dengan maksud menghubungi Choi
Minho, keponakannya untuk merawat Cherlyn diam-diam disana.
=_oOo_=
Seoul, South Korea.
Di
sebuah rumah sakit terkenal dengan dua gedung pencakar langit yang dibangun
dengan megah. Bediri kokoh dengan angkuhnya mempertunjukkan desain oleh seorang
arsitektur terkenal kelas dunia dalam bidangnya. Dua gedung yang merupakan
rumah sakit umum dan rumah sakit jiwa. Bedanya, rumah sakit umum jauh lebih
tinggi dan luas dari rumah sakit jiwa disampingnya. Tapi tidak mengurangi
keindahan desain mewah bergaya modern.
Tampak
pria bersetelan jas putih panjang sejingkal dibawah lutut dengan kemeja putih
panjang, dasi berwarna hitam bergaris putih, dan celana berwarna hitam dengan
sepatu hitam yang mengkilap bersih – tengah berjalan menyusuri lorong lantai
enam gedung rumah sakit jiwa, diikuti oleh dua orang dokter muda dan empat
orang residen dibawah tanggung jawabnya sebagai dokter ketua tim lantai enam
untuk bagian skizofrenia.
Terdengar
suara teriakan dari ruang perawatan pasien. Minho beserta dokter-dokter lainnya
segera berlari menuju kamar yang dimaksud.
Kreeek…
Pintu ruang kamar 8-B terbuka.
“Pergi!”
teriak klien jiwa – pria paruh baya
dengan baju berwarna biru langit ala
rumah sakit. “Jika kalian tak ingin pergi, aku akan membunuh kalian dan akan membunuh
diriku sendiri!” ancamnya.
“APA
YANG KAU LAKUKAN?!” teriak Minho dengan nada suara melengking se-isi ruangan
kamar 8-B.
“Pergi!
Aku sudah bilang aku tidak ingin dirawat disini. Orang-orang itu mengatakan aku
sudah sembuh,” kata pria paruh baya itu.
Orang-orang
yang dimaksudnya itu adalah orang-orang dalam halusinasinya – dibawah alam
sadarnya, dia meyakini orang-orang itu nyata padahal tidak.
“Pergi!
Jangan mendekat!” seru pria paruh baya itu sambil menodongkan sebuah gunting
yang sempat direbutnya sebelum itu dari tangan seorang perawat yang hendak
merawat lukanya akibat kejadian sehari lalu, kepada Minho yang berjalan tanpa
rasa takut mendekatinya.
“Pergi!
Atau aku akan –.”
Jeritan
dari para residen dan para perawat yang tengah bertugas hari itu melihat
gunting itu hampir saja mencelakai leher Minho. Namun dasarnya Minho yang profesional
menangani klien sakit jiwa seperti
ini, jadi sudah biasa baginya. Minho menghindari serangan itu dan malah
merobohkan pria paruh baya itu dengan suntikan yang tepat pada sasarannya. Apa
lagi kalau bukan obat penenang yang dibutuhkan pria paruh baya itu. Semua yang
melihatnya jadi tersenyum lega. Setidaknya perasaan khawatir terhadap dokter
muda yang diusianya saat ini sudah berhasil menjadi seorang professor psikiatri
– tampak berkurang.
“Baringkan
dia!” perintah Minho pada dua residen pria yang melongoh menatapnya dengan rasa
takjub.
Drrrt… Drrrt… Drrrt…
Bunyi getar handphone Minho.
Dari
sorot matanya tampak senang melihat panggilan masuk luar negeri tertera pada handphone miliknya.
“Halo
tante Eve,” sapa Minho – fasih berbahasa Indonesia.
“Choi
Minho, apa itu kau? Sepertinya kau sudah lebih dewasa,” kata Evellyn dari
seberang telepon.
“Masa
Minho mau kecil terus tante?” suara tawanya renyah diujung telepon, sambil
berjalan menuju ruang kantornya yang terletak tak jauh dari ruangan tadi.
Terdengar
suara tawa Evellyn diseberang sana. “Minho, tante mau membahas tentang masalah
Cherlyn.”
Wajah
Minho langsung berubah menjadi serius begitu mendengar nama Cherlyn – sepupu
yang sangat disayanginya sejak kecil.
Setelah
mendengar penjelasan Evellyn panjang lebar. “Baiklah tante Eve. Minho akan ke
Indonesia menjemput Cherlyn besok.”
=_oOo_=
Jakarta, Indonesia
Pesawat
dari bandara Incheon, Seoul yang ditumpangi oleh Choi Minho tiba dan mendarat
dengan selamat dibandara Seokarno-Hatta, Jakarta.
Choi
Minho berjalan dengan langkah tegap menuju mobil jemputan yang tengah
menunggunya. Beberapa pasang mata wanita tampak terpesona melihat wajahnya.
Hari ini Minho menggunakan T-shirt
hitam yang mempertontonkan dada bidang dan ABS
yang dia dapatkan dari hasil gym dari
balik baju yang ia kenakan, dipadukan dengan celana levis berwarna biru, dan
kacamata hitam miliknya. Sosok sempurna untuk seorang pria. Siapa yang bisa
mendustai ketampanan dan keseksian pemuda itu? Tidak ada.
Mobil
yang dinaikinya melesat laju menembus kemacetan pagi Ibukota Indonesia,
Jakarta. Hingga akhirnya tiba disebuah rumah mewah besar bergaya modern-klasik
berlantai dua milik keluarga Agung Setiadi.
“Minho.”
Evellyn menyambut keponakannya itu dengan senyum hangat miliknya.
“Halo
tante,” sapa Minho ramah sambil membalas ciuman pipi dari tantenya itu.
“Ayo
masuk,” ajak Evellyn sambil mengisyaratkan pada pelayan rumah untuk membawa
barang-barang Minho kekamar tamu.
“Cherlyn
mana tante?” tanya Minho setelah meliuk-liukkan kepalanya menatap kekiri dan
kanan rumah besar ini.
“Ada
dikamarnya,” ucap Evellyn.
“Nona
muda! Nona muda turun! Bahaya!” teriak salah satu pelayan – tepatnya pengurus
taman besar milik rumah mewah itu. Membuat Minho dan Evellyn saling menatap
kemudian berlari keluar rumah melihat hal yang amat sangat tidak ingin dilihat
oleh keduanya.
Terutama
Evellyn.
Putrinya
berdiri disisi luar beranda yang tidak dibatasi oleh pagar dibalkon kamarnya,
dengan kedua tangan terentang sempurna dan kepala yang mendongak keatas. Dengan
kaki yang bermain-main menutup dan membuka kearah samping kiri dan kanan –
seolah mengambil posisi terbang.
“Cherlyn!”
pekik Evellyn menatap tindakan putrinya itu.
_____
September
7th, 2015 [Happy birthday Christian Yu/Barom Yu. Happy getting older
oppa. Saranghaeyo] – DON’T COPY PASTE! Denda 500juta plus penjara 7 tahun jika
berani!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar