Chapter 2
*****
Los Angeles, California
*****
Los Angeles, California
*****
Kate Selena Smith, seorang gadis cantik dengan bentuk wajah kecil bulat, kening tipis berwarna coklat kehitaman, mata hazel
yang didapatkan dari ayahnya dipercantik dengan bulu mata yang lentik
menghiasi kelopak mata bulat nan indah, bentuk bibir yang tipis kecil
dilengkapi dengan lesung pipi yang selalu terlihat jelas pada kedua pipi
saat dia menampilkan senyum diwajahnya. Tubuh yang tinggi langsing
dengan warna kulit kuning langsat. Kecantikkan yang dimilikinya
dilengkapi dengan rambut lurus bergelombang berwarna mahogani sebagai
mahkota yang sangat dia banggakan. Seorang gadis yang nyaris sempurna.
Sayangnya kecantikkan yang dia miliki hanya kecantikkan fisik. Kate
bukan gadis yang anggun, bukan gadis yang lembut. Banyak lelaki yang
jatuh cinta padanya, tapi selalu dia tolak mentah-mentah. Tapi masih
saja ada satu orang lelaki yang selalu berada disampingnya. Iya, selalu.
Kate adalah anak Hendry Smith, yang bekerja sebagai pengacara. Kate dan Hendry hanya tinggal berdua dirumah mereka.
***
Smith's House
Hari itu cerah. Langit
biru yang bersinar cerah dengan awan putih tanpa setitik noda yang
menodainya. Lukisan karya Sang Maha Pencipta yang sangat indah.
"Kate," panggil Hendry
dari dapur dilantai satu rumah mereka. Hendry tengah sibuk memanggang
roti dan ketika sudah terpanggang, dia meletakkan dipiring putih bulat
bersama dengan telur dan beberapa irisan daging sapi panggang.
"Kate.. Ini sudah pagi. Bangunlah atau kau akan terlambat kuliah!" teriak Hendry dari ujung tangga yang mengarah kelantai dua.
Suara berisik Hendry membuat Kate menelungkupkan badannya dengan bantal yang menutupi kedua telinganya. Sia-sia!
"Oh dad!" Kate
berteriak kesal dari dalam kamarnya. Mendengar teriakan kesal putri
sematawayangnya itu, Hendry hanya tertawa kecil sambil menggelengkan
kepala.
Berselang beberapa
menit, Kate telah tiba didapur sambil menguap dia berjalan mendapati
meja makan dan duduk menempati salah satu kursi. Kate hanya menggunakan
baju kemeja putih berlengan panjang dan tampak besar dari tubuhnya --
bukan kemeja lelaki, dengan celana pendek yang memperlihatkan kaki
jenjang miliknya yang panjang celana hampir sama panjang dengan kemeja
besar yang dia kenakan. Tanpa mencuci wajah dari tidur semalam.
Melihat putrinya itu,
Hendry hanya kembali menggeleng dan meletakkan dua buah piring berisi
sarapan pagi diatas meja, satu untuk Kate dan satu untuknya.
"Kate, kalau kau seperti ini mana ada pria yang mau denganmu?" tanya Hendry dengan nada menggoda putrinya.
"Ada dad.. banyak," jawab Kate sambil menikmati sarapan yang dibuat oleh ayahnya.
"Ya banyak, tapi kau
tolak mereka semua bukan?" tanya Hendry sambil terkekeh kecil, "Tidak
akan ada pria yang mau mengejarmu lagi."
"Ada!" Kate yang
menghentikan aktivitas makan kemudian berseru lalu kembali mencoba
mengingat berapa banyak pria yang masih mengejarnya, "Tiga.. Ah tidak,
dua. Ah.. mungkin --"
"-- hanya satu," Hendry melanjutkan kalimat putrinya, "Dan pria itu hanya Sam Walcott."
Kate mendesah kesal
mendengar ayahnya tahu. Tentu saja Hendry tahu. Hendry adalah ayahnya,
bukan? Menepis kebenaran bahwa Hendry adalah ayahnya, siapapun yang
melihat Sam Walcott pasti akan tahu kalau hanya satu wanita yang selama
ini sering diikuti kemanapun oleh Sam Walcott. Wanita itu adalah Kate.
Mereka berdua telah bersahabat sejak masih kanak-kanak.
"Dad please..
Jangan menyebut namanya dihadapanku," pinta Kate dengan nada memaksa.
Membuat Hendry terkekeh dan melanjutkan aktivitas dimulutnya.
"Aku akan buktikan
padamu kalau aku bisa terpisah jauh dari si Walcott berkacamata itu!"
ketus Kate, membuat Hendry mengedikkan bahu dan berakhir dengan Kate
memutar kedua bola matanya seolah tak percaya ayahnya terlihat sangat
menyukai Sam, pria yang selalu disampingnya tapi pria yang selalu
membuatnya jenuh bahkan sesekali merasa hampir muak jika mendengarnya
bercerita tentang makhluk immortal dari buku-buku yang dibacanya.
***
"Jadi ini Los Angeles?
Hm.. Biasa saja, tidak ada bedanya dengan belahan dunia lain yang telah
kukunjungi," ucap seorang pria berbaju putih dibalut jas biru dari luar
dengan celana berwarna senada.
Pria bertubuh tinggi dan
besar dengan dada bidang, kulitnya yang putih pucat dengan rambut hitam
miliknya, dan mata coklat kehitaman miliknya membuat beberapa pasang
mata wanita menoleh kearahnya yang berdiri didepan taman kota. Tampan,
ya.. Sungguh tampan. Pria itu adalah Taylor Korsakov -- pangeran Vampire
yang meninggalkan istana Vamplides selama 17 tahun demi mencari seorang
anak yang bahkan belum dia ketahui keberadaannya.
Taylor berjalan
menelusuri jalan setapak taman dimana dia berharap bisa menemukan anak
itu. Selain itu dia berharap semoga tidak menemukan banyak makhluk
immortal lain disini dan semoga belum ada yang menemukan anak itu
sebelum dirinya.
Hari sudah semakin panas. Matahari semakin meninggi. Kulitnya yang putih pucat tampak memerah.
Oh tidak, dia tidak terbakar.
Dia adalah Vampire dari
kelas Alphire -- kelas para bangsawan Vampire. Selain memiliki kekuatan
khusus kekuatan bangsawan Vampire, setiap Vampire bangsawan memiliki
cincin yang terbuat dari panasnya matahari dan dinginnya bulan sehingga
memungkinkan mereka untuk berjalan dibawah sinar matahari. Hanya saja
matahari yang membuat kulit putih pucat miliknya memerah adalah hal yang
alamiah bagi seorang Vampire, terutama manusia yang mempunyai kulit
putih.
Taylor berdecak kesal ketika tiba-tiba ada yang menepuk bahunya dari belakang.
"Ada apa?" tanya Taylor dengan kening terangkat keatas dengan badan yang sudah saling berhadapan.
Seorang gadis cantik tengah berdiri dibelakangnya. Ekspresi wajah gadis itu tak kalah kesal dari ekspresi Taylor.
"Ada apa?" gadis itu balas bertanya, "Permisi Tuan menyebalkan! Kau menghalangi jalanku!" ketus gadis itu.
"Menghalangi jalan? Kau
tak bisa melihat jalan ini begitu luas?" tanya Taylor dengan dahi
berkerut, "Bahkan dengan tubuh kecilmu, kau bisa melewati sisi lain dari
jalan ini!" kata Taylor datar setelah menyelidik dari rambut sampai
kaki gadis dihadapannya.
Gadis cantik itu
berkacak pinggang, "Hey kau Tuan menyebalkan, bisakah kau lihat jalan
disebelahmu itu sedang diperbaiki? dan kau berdiri ditengah jalan yang
harusnya bisa kulewati!"
Taylor menolehkan
kepalanya melihat jalan disebelah dengan tanda larangan tidak boleh
dilewati. Dalam hati Taylor bersungut kesal. Bagaimana bisa dia tidak
melihat jalan itu sebelumnya. Pikirannya terlalu fokus mencari anak itu,
-- anak yang bahkan dia belum tahu seperti apa wajahnya hanya sebuah
tanda yang akan membuktikan siapa anak itu.
Tanda? Ah, ya! Tanda.. Kenapa aku bisa melupakannya, pikir Taylor.
"Hey!" teriak gadis itu.
"Lewatlah," ucap Taylor
sambil membuka akses jalan bagi gadis itu lewat, namun Taylor tak
menatap gadis itu tapi malah memegang dagunya dengan sebelah tangannya
dan tangan yang lain menahan siku tangan yang sedang memegang dagu.
Melihat itu gadis itu memutar bola matanya. Meski masih kesal dengan tingkah Taylor, gadis itu akhirnya pergi juga.
***
Universitty of California
Kate berjalan melewat
koridor gedung kampus. Beberapa pasang mata pria melihatnya, beberapa
pria menyapanya, beberapa memberikan bunga bahkan kotak hadiah padanya
tapi dia malah tidak peduli. Pertama masalah bunga, Kate akan
mengambilnya dan menciumnya sesaat membuat pria yang memberi tersenyum
bahagia, namun kemudian Kate akan membuangnya kedalam tong sampah. Kedua
masalah sapaan, Kate hanya akan menatap sekilas sebelum berjalan
melewati. Ketiga masalah kotak hadiah, Kate akan mengambilnya kemudian
dia akan memberikan kepada siapapun saat melewati mereka. Such as a bad girl!
"Hey nona," sapa sesosok
pria tampan dengan baju basket berwarna merah dengan nomor punggung 12.
Pria yang tak lain adalah James Parker.
James Parker adalah pria kaya dan tampan yang terkenal playboy. Salah satu pria yang memiliki banyak wanita cantik dan sexy
disampingnya. Salah satu pria yang selalu menggoda Kate untuk
berpacaran dengannya. Salah satu pria yang paling dibenci Kate. Bahkan
sebenci-bencinya Kate pada Sam, masih lebih besar rasa bencinya pada
James yang menurut Kate, dia terlalu over menunjukkan
ketampanannya yang bahkan tak ada apa-apanya dibanding Hendry, ayahnya
sendiri. Ya, dalam hati Kate selalu mengagumi ayahnya -- pria separuh
baya, yang bahkan meski diumurnya yang sudah 44 tahun masih terlihat
tampan.
"James Parker menyingkirlah dari jalanku," kata Kate dengan nada tegas.
Tapi diabaikan oleh
James. Justru James merangkuh tubuh Kate lebih dekat dengannya dan
tampak bersemangat melihat betapa seksinya tubuh Kate dibalik baju
berkain levis biru berlengan setengah yang tampak kebesaran dari tubuh
kecilnya dengan kancingan yang tidak semua ditutup sehingga menampilkan
sedikit belahan dada milik gadis cantik itu.
"Awesome!" ucap
James takjub saat ia menatap lekat-lekat belahan dada dan leher jenjang
milik Kate sekalipun sedikit terhalau uraian rambut bergelombang
mahogani milik Kate. Mata James terperangah sesaat saat mendapati
sesuatu dipunggung dekat leher jenjang Kate. James bersiul, tak berhenti
mengagumi pesona gadis cantik dihadapannya ini.
"James singkirkan
tanganmu dariku!" bentak Kate, namun sekali lagi diabaikan oleh James.
Pria itu malah seenaknya mengarahkan tangannya menggapai punggung Kate
demi melihat sesuatu yang jelas tadi bersinar.
"James Parker!" Suara
teriakan dari kejauhan membuat James mengerang kesal sebelum menolehkan
kepalanya pada pemilik suara, Sam Walcott.
James melepaskan
rengkuhan kedua tangannya dari tubuh Kate dan membalikkan badannya
menatap Sam Walcott yang dengan langkah cepat berjalan mendekati James
dan teman-temannya.
"Uh.. Ternyata anak mama ada disini," ledek James sambil saling memandang dengan teman-temannya dan tertawa.
"Jangan ganggu Kate!" ucap Sam dengan lantang meskipun sedikit terdengar parau.
James terkekeh dan
mengukir senyum miring dibibir tipis miliknya, "Memangnya kenapa?"
sambil merengkuh kerak baju Sam disambut tawa kecil teman-teman James.
"Menyingkirlah da-da-ri Kate," ucap Sam terbata-bata saat James semakin merengkuh kuat kerak baju Sam.
"Brengsek!" James tersenyum sinis dan langsung melayangkan sebuah tinju pada pipi Sam, mengakibatkan Sam jatuh kelantai.
Berpapasan dengan itu,
Mr O'connell lewat. "Mr Parker!" teriak Mr O'connell dari tangga dekat
koridor tempat mereka berada. James langsung tertunduk dengan kesal
melihat tatapan Mr O'connell seolah siap menerkamnya melihat kejadian
itu.
"Mr Parker ikut saya ke
ruangan! Kamu juga Mr Walcott," perintah Mr O'connell dan langsung
berjalan menuju ruangannya, disusul kesal oleh James.
Kate membantu Sam
berdiri. Jauh dihatinya, dia merasa bersalah pada Sam karena mendapat
pukulan dari James. Sekalipun dia membenci Sam karena pria itu selalu
mengusiknya dengan kisah-kisah immortal, tetap saja Sam Walcott adalah
sahabatnya sejak kecil.
Melihat tatapan Kate
tampak khawatir, Sam malah tersenyum dan menahan tangan Kate dengan
anggukkan kecil seolah mengatakan aku baik-baik saja -- meski ada darah
disimpul bibir Sam akibat tinju James.
==_oOo_==
*****
Gua Gorgon
*****
Gua Gorgon
*****
Desisan ular hitam berbisa dari kepala Stheno, yang sedang berbaring ditempat tidur.
"Kak!" seru Euriale yang tiba-tiba berlari secara cepat kedalam kamar gua Stheno.
Ular hitam berbisa dikepala Stheno secara cepat bergerak kearah datangnya Euriale dengan garang sambil berdesis.
Melihat desisan ular
hitam dikepala Stheno, tak mau kalah ular merah berbisa dikepala Euriale
juga mengarah pada ular hitam Stheno dengan garang.
"Oh slow down baby, jangan bertengkar. Aku hanya ingin berbicara dengan kakakku," ucap Euriale membuat kedua ular berbisa itu menjadi tenang.
"Ada apa?" tanya Stheno sambil membuka matanya sejenak.
"Kak, kau tidak merasakan Gua Gorgon ini bergetar dengan kuat?" tanya Euriale.
"Aku merasakannya. Lalu?" jawab Stheno datar sambil memberi makan kepingan tubuh manusia untuk dimakan ular hitam miliknya.
"Kehadiran anak itu akhirnya terasa juga," kata Euriale.
"Tidak ada yang perlu
ditakutkan. Dia masih 17 tahun. Tanpa kita membunuhnya, makluk immortal
lain sedang menunggu waktu yang tepat untuk menyerangnya," kata Stheno
sambil tertawa.
Euriale tersenyum puas
mendengar kata-kata kakaknya. Mata terang Euriale menangkap dua sosok
manusia yang sedang menatap mereka dengan ketakutan. Timbul ide nakal
darinya.
Hiks.. Hiks.. Hiks..
suara tangisan pelan Euriale membuat dua manusia yang masih hidup --
yang berada dalam kamar gua Stheno, menutup telinganya menahan sakit
akibat tangisan Euriale. Dari telinga keduanya keluar darah yang
mengalir.
"Euriale, berhentilah menyiksa makan siangku!" seru Stheno yang kini sudah bangun dari tidurnya.
Euriale tertawa kecil
dan menatap kembali kakaknya sambil tersenyum nakal, "Baiklah selamat
menikmati makan siangmu kakakku tersayang," kata Euriale sambil berlalu
tapi langkahnya terhenti dipintu, "Kak.. Medusa tampak masih menangisi
batu pria dan adik pria itu, yang kau bunuh sebelum buat jadi batu."
"Masih beruntung aku
membuatnya menjadi batu sebagai kenang-kenangan bagi dia, daripada aku
memberikannya menjadi santapan anak-anakku," Stheno tersenyum miring.
==_oOo_==
*****
Los Angeles, California
*****
Los Angeles, California
*****
Universitty of California
Kate duduk menunggu Sam di taman samping gedung kampus, dengan khawatir dan rasa bersalah.
"Hey!" suara Sam dari belakang mengagetkan Kate.
"Hey.. Kau baik-baik
saja? Mr O'connell tidak memarahimu? Kau tidak terluka dibagian yang
lain?" Sederetan pertanyaan yang Kate lontarkan.
Mendengar itu Sam tertawa. "Apakah kau mengkhawatirkanku sekarang?"
Kate baru tersadar jika ia sudah banyak bertanya. Tidak biasanya dia bertanya dengan khawatir seperti ini pada Sam.
"Tidak!" jawabnya datar.
Kembali kedirinya sendiri, seorang Kate. Namun pergerakkannya terlihat
gugup bahkan saat dia mengikat rambut keatas, tangannya bergetar seolah
baru pertama kali mereka bersama.
Dari kejauhan, sesosok
tubuh pria yang sedaritadi mengamati mereka dari saat kejadian di
koridor sambil tersenyum. Pria itu adalah Taylor Korsakov, "I found you."
-----
August 20th, 20015